Aku lelah. Sangat malah. Masih heran mengapa dia bisa, bertahan sekokoh itu di sana. Dalam tekanan luar biasa hebatnya. Dia masih juga bisa merengkuh sesuatu, yang tak nampak ujungnya.
Tak selagu denganku, yang rapuh di makan angin. Dia bahkan masih sanggup tersenyum, seakan bahagia. Yang lepas tanpa batas. Padahal aku tau betul apa isi di benaknya.
Sakit bertalu yang diam, hanya bisa diam sampai waktu mungkin nanti yang menunjukkannya. Kepedihan yang merambah seluruh tulang rusuknya. Yang hampir mirip lukanya, seperti milikku. Yang membedakan hanya caranya. Berteduh dari gumpalan hujan yang menyerbu tiba-tiba atau berlindung dari guratan kilat dengan petir yang membelah langit. Itu bedanya. Cara kami mengatasinya.
Mengapa? Dia bisa, sedang aku tidak. Memborong medali warna-warni. Dia bisa menjadi. Sedang aku? Diam sendiri. Sendiri dan benar-benar sendiri. Tanpa asa yang mengiringi, atau senyum yang menggigil ditengah cuaca dingin, sedingin apa yang tak bisa dibayangkan.
DAN....
Ada kalanya ternyata. Gadis sepertiku ingin melakukan apapun sesuai kehendak hati, tak lagi peduli benar atau salah. Hanya sekedar ingin menikmati masa muda. Bebas, lepas tanpa batas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H