DPR melalui sidang Paripurna secara resmi mengesahkan RKUHP menjadi sebuah UU yang resmi menggantikan KUHP lama yang merupakan produk hukum warisan dari kolonial Belanda. Jika dilihat secara sekilas, RKUHP sendiri menjadi sebuah gebrakan baru di dalam khitah perundang-undangan Indonesia karena setelah sekian abad lamanya, Indonesia pada akhirnya mempunyai produk hukumnya sendiri di dalam kaitannya dengan hukum pidana.
Pada 6 Desember 2022 ini,Akan tetapi, tidak sedikit juga pihak-pihak yang menolak disahkannya RKUHP karena dianggap memiliki berbagai pasal-pasal kontroversial yang dapat merugikan masyarakat banyak di dalam pelaksanaannya nanti. Banyak pasal di dalam RKUHP yang dianggap merupakan sebuah kemunduran di dalam iklim demokrasi Indonesia. Selain itu, beberapa pasal di dalam RKUHP juga dianggap "karet", sehingga dikhawatirkan nantinya dapat dijadikan pihak berkuasa bertindak sewenang-wenang untuk menjerat masyarakat.
Pasal Penghinaan Kepala NegaraÂ
Salah satu butir di dalam draft RKUHP yang menjadi polemik terbesar di tengah masyarakat adalah pasal penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 218 ayat (1). Pada pasal tersebut, disebutkan bahwa: "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun 6(enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV." Tentunya. Pasal tersebut menjadi sebuah kontroversi di masyarakat karena sebelumnya pasal penghinaan kepada Presiden sendiri sudah dihapuskan oleh MK melalui putusan MK Nomor 13-22/PUU-IV/2006.
Dengan dihidupkannya kembali pasal penghinaan kepada Presiden di dalam RKUHP yang baru saja disahkan, menandakan bahwasannya negara kita sedang mundur satu langkah di dalam kaitannya dengan kebebasan berpendapat. Dengan adanya pasal tersebut, tentunya kebebasan masyarakat dalam mengkritisi Presiden serta jajaran pemerintah pun menjadi semakin terbatas. Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej selaku Wamenkumham berpendapat bahwa pasal penghinaan Presiden sendiri kembali dihidupkan untuk mengupayakan suatu produk hukum sebagai sarana kontrol sosial
Wamenkumham beralasan bahwa pasal tersebut disahkan untuk mencegah terjadinya tindak anarkisme yang dilakukan oleh massa pendukung Presiden ketika ada pihak yang melakukan penghinaan kepada Presiden dan jajarannya, sehingga semula kemarahan publik tersebut dapat direduksi menjadi kemarahan personal presiden melalui pasal tersebut. di situlah peran hukum sebagai fungsi kontrol sosial.
Akan tetapi, terlalu pragmatis rasanya jika pasal penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden tersebut dipandang hanya secara prosedural sebagai suatu upaya di dalam kontrol sosial. Ada kenyataan hukum yang berada di luar prosedural hukum itu sendiri, yaitu hukum secara substansial (hukum yang nyata adanya di masyarakat).Â
Pasal penghinaan kepada Presiden berpotensi dapat mencederai kebebasan mengungkapkan pendapat di muka umum. Masyarakat dapat diintimidasi oleh sekelompok orang atau bahkan aparat berwajib sendiri ketika dianggap menyerang kehormatan Presiden. Tidak adanya batas yang jelas mengenai sejauh mana sesuatu dapat dikatakan sebagai penghinaan di dalam Pasal tersebut juga dapat menyebabkan multitafsir, apakah penghinaan tersebut terbatas pada personal Presiden, atau juga mencakup Presiden di dalam kedudukannya sebagai penjabat negara.
Minimnya Dialog Terbuka Mengenai RKUHP
Berbagai kalangan seperti organisasi non-pemerintah (NGO), LBH, pengamat kebijakan publik, aktivis, hingga Mahasiswa banyak menunjukan penolakannya atas disahkannya RKUHP sebagai UU. Akan tetapi pemerintah seolah-olah bergeming terhadap segala penolakan tersebut dan bahkan terkesan terburu-buru di dalam mengesahkan RKUHP. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya kecacatan materil di dalam substansi pasal-pasal di RKUHP. "Ugal-ugalan" merupakan frasa yang pas dalam menggambarkan proses di dalam pembentukan serta pengesahan RKUHP itu sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Isnur selaku ketua YLBHI.
Banyak pihak yang menilai minimnya keterlibatan publik sendiri di dalam perancangan RKUHP menjadikan disparitas antara pemerintah dengan rakyatnya semakin kuat. Salah satu pasal yang juga menjadi perhatian dari pengamat hukum sendiri adalah Pasal 2 di dalam draft RKUHP yang mengatur mengenai living law atau hukum yang hidup di dalam masyarakat.Â
Tidak adanya subjek yang jelas di dalam pasal tersebut dapat menyebabkan kriminalisasi terhadap siapa saja yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai hidup di masyarakat yang sangat abstrak itu.Â
Selain itu, tidak diaturnya batasan keberadaan ruang lingkup mengenai sejauh mana living law tersebut dilaksanakan di masyarakat juga dapat berpotensi mencederai hak-hak kaum rentan, mengingat masih banyak peraturan daerah di Indonesia serta peraturan-peraturan adat dan turunannya yang diskriminatif terhadap perempuan dan kaum rentan lainnya. kekaburan tersebutlah yang mengimplikasikan bahwa memang minim sekali dilibatkannya partisipasi publik serta masyarakat-masyarakat adat dan daerah di dalam pembentukan RKUHP itu sendiri.
"Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum," seperti yang diucapkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo menjadi ungkapan yang tepat di dalam menggambarkan segala polemik di dalam pasal RKUHP yang masih banyak memandang masyarakat itu sendiri sebagai objek di dalam pelaksanaan suatu kebijakan.
Pelaksanaan hukum haruslah sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat, bukan hanya sekadar untuk mengakomodir kepentingan satu pihak saja. Partisipasi publik yang massif di dalam menolak disahkannya RKUHP sebagai suatu UU merupakan refleksi bagi pemerintah untuk lebih transparan serta inklusif di dalam kaitannya dengan perancangan Undang-Undang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H