Berbagai kalangan seperti organisasi non-pemerintah (NGO), LBH, pengamat kebijakan publik, aktivis, hingga Mahasiswa banyak menunjukan penolakannya atas disahkannya RKUHP sebagai UU. Akan tetapi pemerintah seolah-olah bergeming terhadap segala penolakan tersebut dan bahkan terkesan terburu-buru di dalam mengesahkan RKUHP. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya kecacatan materil di dalam substansi pasal-pasal di RKUHP. "Ugal-ugalan" merupakan frasa yang pas dalam menggambarkan proses di dalam pembentukan serta pengesahan RKUHP itu sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Isnur selaku ketua YLBHI.
Banyak pihak yang menilai minimnya keterlibatan publik sendiri di dalam perancangan RKUHP menjadikan disparitas antara pemerintah dengan rakyatnya semakin kuat. Salah satu pasal yang juga menjadi perhatian dari pengamat hukum sendiri adalah Pasal 2 di dalam draft RKUHP yang mengatur mengenai living law atau hukum yang hidup di dalam masyarakat.Â
Tidak adanya subjek yang jelas di dalam pasal tersebut dapat menyebabkan kriminalisasi terhadap siapa saja yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai hidup di masyarakat yang sangat abstrak itu.Â
Selain itu, tidak diaturnya batasan keberadaan ruang lingkup mengenai sejauh mana living law tersebut dilaksanakan di masyarakat juga dapat berpotensi mencederai hak-hak kaum rentan, mengingat masih banyak peraturan daerah di Indonesia serta peraturan-peraturan adat dan turunannya yang diskriminatif terhadap perempuan dan kaum rentan lainnya. kekaburan tersebutlah yang mengimplikasikan bahwa memang minim sekali dilibatkannya partisipasi publik serta masyarakat-masyarakat adat dan daerah di dalam pembentukan RKUHP itu sendiri.
"Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum," seperti yang diucapkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo menjadi ungkapan yang tepat di dalam menggambarkan segala polemik di dalam pasal RKUHP yang masih banyak memandang masyarakat itu sendiri sebagai objek di dalam pelaksanaan suatu kebijakan.
Pelaksanaan hukum haruslah sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat, bukan hanya sekadar untuk mengakomodir kepentingan satu pihak saja. Partisipasi publik yang massif di dalam menolak disahkannya RKUHP sebagai suatu UU merupakan refleksi bagi pemerintah untuk lebih transparan serta inklusif di dalam kaitannya dengan perancangan Undang-Undang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H