Bahkan lebih tragis lagi, bayangkan jika anak perempuan anda menjadi korban pemerkosaan atau kekerasan seksual yang dilakukan secara brutal.
 Dalam kondisi seperti ini, trauma mendalam akan membekas seumur hidup. Rasa aman yang dulu anda anggap sebagai hak dasar mendadak lenyap, digantikan oleh rasa takut dan kehancuran emosional yang tak terhingga.
Pernyataan Yusril yang meminimalkan tragedi ini, tanpa mempertimbangkan bahwa bagi banyak korban, peristiwa tersebut bukan hanya sekedar catatan sejarah tetapi juga luka yang belum sembuh, jelas memperburuk keadaan.Â
Keinginan para korban untuk mendapatkan keadilan dan pengakuan atas penderitaan mereka semakin terhambat.Â
Bagaimana mungkin suatu negara dapat maju atau berkembang jika tidak mampu mengakui dan menuntaskan masalah pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu? Tanpa pengakuan dan pengadilan yang adil, luka-luka sejarah tersebut akan terus membekas, bukan hanya bagi mereka yang terlibat langsung, tetapi juga bagi generasi berikutnya yang tidak mendapatkan pelajaran berharga dari peristiwa tersebut.
Tidak hanya itu, Yusril dengan pernyataannya juga mencerminkan sikap yang cenderung menutup mata terhadap realitas sosial yang terjadi di lapangan.Â
Sebagai seorang pejabat publik yang memegang tanggung jawab besar dalam bidang hukum dan hak asasi manusia, seharusnya Yusril lebih peka terhadap sejarah kelam bangsa ini.Â
Mengabaikan atau bahkan meremehkan tragedi 1998 berarti mengabaikan kenyataan bahwa tragedi tersebut bukan hanya soal angka korban, tetapi juga soal martabat dan hak asasi manusia yang dilanggar dengan kejam.
Selain itu, pernyataan ini memperburuk ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dalam hal penuntasan pelanggaran HAM di Indonesia. Sejak peristiwa Mei 1998, banyak keluarga korban yang mencari keadilan dan menginginkan agar pelaku kekerasan diadili.Â
Namun, sistem hukum Indonesia, yang seharusnya menjadi alat untuk menegakkan keadilan, justru gagal memberikan respon yang memadai. Banyak kasus yang terhenti tanpa penyelesaian, dan keadilan yang mereka harapkan semakin sulit untuk diraih.Â
Dalam konteks ini, Yusril, yang baru dilantik sebagai pejabat tinggi negara, seharusnya menjadi pihak yang mendorong agar proses hukum berjalan dengan lebih baik dan agar keadilan dapat ditegakkan, bukan malah membuang-buang kesempatan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah memasuki era reformasi yang lebih demokratis, masih ada beberapa kalangan yang enggan atau bahkan takut untuk menghadapi dan mengakui kekerasan masa lalu.Â