Akan tetapi, meskipun mekanisme pilkada serentak memberikan suntikan positif bagi partisipasi demokratis, mekanisme pilkada serentak ini juga menimbulkan beberapa dampak negatif yang berpotensi menurunkan kualitas demokrasi itu sendiri.Â
Pertama, pilkada yang dilaksanakan bersamaan dengan agenda pemilu nasional dan hanya berjarak sembilan bulan akan memberikan dampak pada peningkatan beban kerja penyelenggara pemilu yang nantinya juga akan berdampak pada kualitas penyelenggaraan pilkada dan pemilu nasional. Kedua, pilkada serentak terhadap pemilihan gubernur, bupati, dan walikota sekaligus akan menciptakan kebingungan di masyarakat atas banyaknya pilihan dan dapat membuat masyarakat hanya terfokus ke satu pemilihan, misalnya masyarakat hanya fokus pada pemilihan gubernur dan meninggalkan perhatian mereka dari pemilihan bupati atau walikota.Â
Ketiga, pelaksanaan pilkada serentak pada 2024 secara otomatis akan menunda pilkada bagi daerah yang masa jabatannya habis pada 2022 dan 2023, penundaan pilkada ini akan menciptakan kekosongan kepemimpinan dan mengharuskan diangkatnya pejabat pelaksana tugas sebagai kepala daerah pengganti yang dapat memunculkan potensi permasalahan yang baru (Widyana & Fikriansyah, 2021).
Penundaan Pilkada dan Ujian Demokrasi
Dari tiga dampak negatif rencana pilkada serentak yang telah diuraikan sebelumnya, salah satu dampak yang paling menarik untuk dikaji adalah uraian dampak ketiga, yakni kebijakan penundaan pilkada 2022 dan 2023 disertai pengangkatan pejabat pelaksana tugas kepala daerah.Â
Pengangkatan pejabat pelaksana tugas kepala daerah ini merupakan suatu dilema bagi demokrasi di Indonesia. Ditilik dari perspektif kedudukan hukum, kebijakan tersebut di satu sisi legal secara konstitusional sebagaimana telah diatur dalam UU No 16 Tahun 2016 Pasal 201. Akan tetapi, dari perspektif demokrasi prosedural, kebijakan ini menyalahi hak rakyat untuk dipimpin oleh kepala daerah yang terpilih melalui kontestasi yang demokratis.
Kehadiran pejabat pelaksana tugas tersebut juga rawan menimbulkan berbagai problematika. Setidaknya, ada tiga problematika yang sudah dan akan timbul dengan adanya pengangkatan penjabat kepala daerah. Pertama, dampak yang sudah timbul adalah kebingungan dan ketidaksinkronan dasar hukum yang berlaku mengenai pengganti kepala daerah yang telah habis masa jabatan.Â
Hal tersebut terjadi karena dasar hukum yang dipakai saat ini yaitu UU No 16 Tahun 2016 Pasal 201 ayat (9) bertentangan dengan ketentuan dalam UU Pilkada Pasal 176 yang menjelaskan bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah yang meninggalkan masa jabatan lebih dari 18 bulan dipilih oleh DPRD berdasarkan usulan partai politik atau gabungan partai politik pengusung, ketentuan tersebut seharusnya dapat dijadikan landasan mengingat rata-rata masa kekosongan jabatan akibat pilkada 2024 sekitar 20 bulan.Â
Kedua, penjabat kepala daerah yang dipilih tidak akan memiliki legitimasi yang kuat dan penjabat kepala daerah memiliki keterbatasan wewenang dalam memutuskan kebijakan-kebijakan strategis sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 14 ayat (7).Â
Ketiga, pengangkatan penjabat kepala daerah oleh Pemerintah Pusat adalah hal yang menyimpang dari asas otonomi daerah dan desentralisasi kekuasaan dimana daerah tidak mendapat hak otonominya untuk memilih kepala daerah sendiri dan roda pemerintahan akan berjalan secara tersentralisasi karena penjabat kepala daerah bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat. (Deliarnoor, 2015; Fauzani & Wahyuningsih)
Untuk mencegah terjadinya masalah-masalah tersebut dan untuk menjaga kelangsungan demokrasi di Indonesia, yang pertama kali harus dilakukan pemerintah  adalah menciptakan kejelasan dari dasar-dasar yuridis agenda pilkada serentak 2024, khususnya mengenai kewenangan penjabat kepala daerah.Â