Mohon tunggu...
Farrel Ahmad Syakur
Farrel Ahmad Syakur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Manajemen dan Kebijakan Publik UGM

Mahasiswa fakir ilmu, sugih cinta dan retorika.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Pilkada Langsung Serentak dan Implikasinya terhadap Kelangsungan Demokrasi Kita

20 Januari 2023   17:15 Diperbarui: 20 Januari 2023   17:38 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Walaupun telah diadakan perubahan, tetap saja banyak pihak yang masih menilai bahwa mekanisme tersebut belum sempurna dalam merefleksikan demokratisasi dan kedaulatan rakyat yang sebenar-benarnya. Maka dari itu, mekanisme pemilihan kepala daerah diubah lagi dengan ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004 yang didalamnya mengatur bahwa pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dilakukan secara langsung oleh rakyat (Prayudi, 2017). 

Pemberlakuan undang-undang tersebut merupakan pembuka babak baru dari dinamika demokrasi lokal di Indonesia yang menegaskan kembali penempatan posisi kepentingan rakyat di atas kepentingan elit politik yang terpelihara dalam mekanisme pilkada yang lama. (Suparno, 2018)

Akan tetapi tak henti sampai disitu, perubahan kembali terjadi pada 2015, kali ini perubahan bukan terjadi pada mekanismenya melainkan pada waktu pelaksanaannya yang dilakukan secara serentak. Agenda pilkada serentak nasional yang direncanakan bertahap tersebut didasarkan pada peraturan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 201 ayat 8. Tahap awalnya dimulai dari pilkada serentak 2015 dan puncaknya pada pilkada serentak nasional yang akan terlaksana pada tahun 2024.

Plus Minus Rencana Pilkada Langsung Serentak

Jika dilihat secara sekilas dari sejarah dinamika dan perkembangan pilkada tersebut, terlihat bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah dari masa ke masa telah berkembang secara progresif menuju kepada pewujudan asas pemilihan umum yang LUBERJURDIL. 

Akan tetapi, hal yang tak kalah penting untuk dikaji kembali adalah bagaimana keberdampakan dari perubahan-perubahan tersebut terhadap kemajuan demokrasi di Indonesia? Pertanyaan ini tak luput juga berlaku untuk membedah secara kritis agenda pilkada serentak nasional 2024, mengingat agenda tersebut merupakan agenda yang memiliki pengaruh krusial untuk arah demokrasi Indonesia kedepannya.

Berbicara mengenai dampak pilkada serentak 2024 terhadap kelangsungan demokrasi, latar belakang urgensi kebijakan tersebut menjadi suatu hal yang tidak boleh untuk terlewat. Pada dasarnya, urgensi kebijakan pilkada serentak lahir dari implikasi mekanisme pilkada langsung yang menimbulkan masalah baru berupa peningkatan anggaran dan biaya, baik biaya ekonomi maupun biaya sosial. Data anggaran biaya penyelenggaraan pilkada 2010 misalnya, berdasarkan keterangan anggota KPU RI I Gusti Putu Artha, KPU kabupaten/kota tahun 2010 menganggarkan sekitar 7 hingga 10 miliar rupiah. 

Sedangkan KPU provinsi menganggarkan sekitar 50 hingga 70 miliar rupiah. Dari sisi panitia pengawas pemilu, dana yang dibutuhkan sekitar Rp. 3 miliar untuk tingkat kabupaten/kota dan Rp. 20 miliar untuk tingkat provinsi. Data anggaran tersebut baru terdiri dari anggaran KPU dan panitia pengawas, sedangkan anggaran pilkada sendiri lebih kompleks daripada itu. Terhitung ada lima komponen biaya Pilkada. Pertama, dilihat dari pengeluaran KPU. Kedua, Panitia Pengawas Pemilu. Ketiga, kepolisian. Keempat, calon kepala daerah. Dan terakhir, tim kampanye (Jamaludin, 2019)

Dari latar belakang tersebut, dapat terlihat bahwa kebijakan pilkada serentak nasional ini merupakan kebijakan solutif untuk mengatasi permasalahan anggaran, serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari pengeluaran anggaran yang sebelumnya tidak terorganisasi. Dengan adanya pelaksanaan pilkada secara serentak, pilkada dari Sabang hingga Merauke dapat diorganisasikan dalam satu waktu yang dampaknya akan menjadi jauh lebih efektif dari segi waktu. Selain itu pemerintah juga dapat lebih siap dari segi alokasi anggaran dan meminimalisasi adanya pemborosan anggaran untuk kepentingan pilkada.

Selain permasalahan anggaran dan teknis, mekanisme pilkada serentak ini juga dapat memberikan dampak positif bagi demokrasi, khususnya dari aspek partisipasi masyarakat. Dengan mekanisme pilkada serentak, para pemilih hanya perlu menghadiri pilkada sekali dalam lima tahun dan akan mencegah pemilih merasa jenuh akan keseluruhan rangkaian pilkada. 

Hal tersebut tentunya akan meningkatkan jumlah partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah. peningkatan partisipasi masyarakat tersebut dapat dilihat dari data tingkat partisipasi pemilih pilkada tahun 2017 yang meningkat yaitu sejumlah 74,20% dibandingkan dengan tingkat partisipasi pemilih tahun 2015 yang berjumlah 70% (Seran, 2017).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun