Pendahuluan
Indonesia adalah negara demokratis yang menaruh kedaulatan atau kekuasaan tertingginya di tangan rakyat, hal ini telah dijelaskan dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pernyataan dalam undang-undang dasar tersebut menyatakan dengan tegas mengenai legalitas rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang memberikan mandat kekuasaannya kepada pemerintah melalui langkah-langkah yang telah diatur dalam konstitusi.
Berdasarkan kedaulatan rakyat tersebut, Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut sistem demokrasi dimana dalam menentukan pemegang kekuasaannya dilakukan melalui skema kontestasi dan sirkulasi yang dilakukan secara berkala. Di Indonesia sendiri, skema kontestasi dan sirkulasi ini dikenal sebagai pemilihan umum atau lebih sering disingkat sebagai “pemilu”.
Pemilihan umum atau pemilu adalah sebuah kontestasi pemilihan anggota lembaga legislatif tingkat pusat maupun daerah dan sejak tahun 2004 pemilihan umum juga dilakukan untuk memilih presiden dan wakil presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Di sisi lain, kontestasi untuk memilih kepala eksekutif tingkat daerah provinsi, kabupaten, maupun kota biasanya dikenal sebagai “pilkada” yang merupakan akronim dari pemilihan kepala daerah.
Kontestasi elektoral pilkada ini telah mengalami berbagai dinamika panjang. Pemilihan kepala daerah di Indonesia pertama kali dilakukan secara langsung pada 2005, setelah sebelumnya pemilihan kepala daerah diwakilkan oleh DPRD sesuai tingkatnya (Haris, 2017). Dalam mekanismenya, pilkada juga mengalami beberapa kali perubahan dan pemyempurnaan. Salah satunya yang terbaru dari dinamika pilkada yang strategis untuk dikaji adalah agenda pilkada serentak nasional pada 2024. Agenda tersebut dilakukan secara bertahap dengan tahap pertama yang telah dilaksanakan pada tahun 2015 yang lalu.
Rencana pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia ini adalah hal yang sangat penting untuk dikaji dari perspektif demokrasi karena dinamika politik dan pemerintahan yang terjadi di tingkat lokal atau daerah memiliki peran dalam menentukan wajah demokrasi di tingkat nasional (Akbar, 2016). Lebih khususnya mengenai rencana pilkada serentak nasional 2024, pengkajian terhadap rencana tersebut diperlukan untuk mengkritisi konsekuensi-konsekuensi politik dari kebijakan strategis tersebut dan untuk menemukan upaya terbaik dalam meminimalisir dampak negatifnya terhadap kelangsungan demokrasi.
Kajian Historis Dinamika Pilkada di Indonesia
Sistem kontestasi pemilihan kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten, dan kota telah mengalami berbagai dinamika dan perubahan. Berbagai perubahan tersebut bisa terjadi karena peraturan di konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak mengatur secara spesifik tentang pemilihan kepala daerah.
Peraturan mengenai pemilihan kepala daerah dalam UUD 1945 tertera dalam Pasal 18 Ayat (4) yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Dalam bunyi pasal tersebut tidak dijelaskan mengenai sistem pemilihan tersebut haruslah dilakukan secara langsung oleh rakyat ataupun dilakukan secara demokratis oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pada masa orde baru, pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai tingkatnya masing-masing. Mekanisme pilkada tidak langsung pada masa ini memiliki beberapa kekurangan yang melukai nilai demokrasi. Kekurangan pertama adalah adanya fenomena “calon jadi” dan “calon penggembira” akibat terkonsentrasinya kekuasaan legislatif pada satu partai. Selain itu, dwifungsi ABRI pada saat itu berdampak pada diisinya jabatan kepala daderah oleh perwira militer aktif. (Prayudi, 2017)
Sistem tersebut berubah sejak adanya reformasi yang menjatuhkan rezim orde baru. Perubahan ini dilakukan melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah dimana diatur bahwa pemilihan gubernur, bupati, dan walikota beserta wakil-wakil mereka dilakukan oleh DPRD sesuai tingkatnya masing-masing (Prayudi, 2017). Meskipun secara sekilas sama, tetapi mekanisme ini dapat dikatakan lebih demokratis daripada mekanisme pada orde baru dimana semua calon dapat benar-benar bersaing dan tidak ada lagi dwifungsi ABRI dimana kursi kepala daerah diduduki perwira-perwira militer yang masih aktif.