Tulisan ini sebenarnya adalah sedikit keluh kesah dalam menjalani program Kampus Mengajar Angkatan 1 tahun 2021. Lebih dari itu, tulisan ini dibuat untuk mempublikasikan beberapa kegiatan dalam Program Kampus Mengajar di sekolah penugasan saya di SD Negeri Nomor 34 Inpres Taraweki, Kecamatan Tubo Sendana, Kabupaten Majene-sejak tanggal 22 Maret hingga 25 Juni yang akan datang.
Program Kampus Mengajar adalah sebuah program yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sebagai bagian dari kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan menggerakkan mahasiswa untuk membantu pembelajaran di Sekolah Dasar yang teraktreditasi C, terutama di daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal). Program ini juga merupakan kesempatan yang dianggap paling ideal untuk mahasiswa dalam rangka memberikan kontribusi nyata terhadap upaya pemajuan pendidikan di Indonesia.
Harus diakui, tujuan program Kampus Mengajar ini sangat baik dan mulia. Apalagi dalam masa Pandemi Covid-19, proses belajar mengajar terutama di jenjang sekolah dasar nyaris lumpuh. Berdasarkan hal inilah saya memberanikan diri untuk mendaftar dalam program Kampus Mengajar ini. Hal lain yang memberanikan saya mendaftar adalah status saya sebagai Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah di Universitas Negeri Malang (UM), yang paling tidak menandakan bahwa saya memiliki sedikit kemampuan untuk mengajar atau membantu proses pembelajaran di sekolah.
Saat dinyatakan lulus dan resmi menjadi peserta program Kampus Mengajar angkatan 1 tahun 2021, saya sangat bersyukur sebab ditempatkan di SD Negeri No. 34 Inpres Taraweki yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah (Sekira 11 Kilometer). Dalam bayangan saya, pembelajaran di masa pandemi ini akan diselenggarakan dalam ruang-ruang kelas dengan menerapkan protokol kesehatan. Namun, ternyata pembelajaran di sekolah ini tidak diselenggarakan di sekolah, melainkan diselenggarakan di rumah-rumah warga dengan jumlah siswa yang terbatas. Pupus sudah rancangan strategi pembelajaran yang telah saya rancang sebelumnya.
Tidak kehabisan akal, saya mencoba mengontak pihak Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Majene, tujuannya agar sekolah penugasan saya mendapatkan "Diskresi" untuk melaksanakan Proses Belajar Mengajar di Sekolah dengan tetap menerapkan Protokol Kesehatan. Tetapi tidak ada pihak yang berani pasang badan untuk hal ini. Pupus sudah. Saya berkesimpulan untuk mengikuti mekanisme pembelajaran yang diterapkan oleh sekolah.Â
Masalah yang saya hadapi tidak sampai disitu saja, ternyata sekolah ini adalah sekolah yang terdampak bencana gempa bumi 6,2  Magnitudo pada 14 dan 15 Januari 2021 silam. Akibat dari bencana ini, 74 orang siswa di sekolah ini mengalami learning loss selama 2 bulan, karena harus mengungsi karena ketakutan akan gempa susulan. Lengkap sudah. Kombinasi Pandemi Covid-19 dan gempa bumi 6,2 Magnitudo membuat sekolah ini sedikit kewalahan untuk mengejar ketertinggalan.
Saya berupaya memutar otak untuk mengatasi hal ini. Saya langsung tancap gas mengatur jadwal belajar untuk mendampingi guru-guru saat melakukan pembelajaran di rumah-rumah warga. Saya berupaya hadir setiap hari di sekolah, dan berkat kerjasama yang baik dengan guru-guru dan Kepala Sekolah, proses belajar mengajar mulai menggeliat.
Tidak hanya mendampingi proses pembelajaran, kami juga berupaya memberikan semangat pada guru-guru senior agar dapat memacu diri dalam mengembangkan kompetensinya. Salah satu cara yang kami lakukan adalah dengan sharing pengalaman. Guru-guru senior menceritakan tentang pengalamannya selama puluhan tahun mengajar siswa sekolah dasar, dan kami berupaya menceritakan pengalaman kami saat menjadi siswa sekolah dasar. Akhirnya, guru-guru senior mampu memahami bahwa memang sudah terjadi perubahan yang pesat pada perkembangan psikologis siswa. Upaya lain yang kami lakukan adalah memperkenalkan guru-guru senior dengan platform meeting virtual seperti aplikasi Zoom Meeting.
Â
Upaya lain untuk memberikan semangat baru bagi guru-guru adalah dengan mengajak untuk bekerjasama dalam mengembangkan media pembelajaran sederhana. Salah satu media pembelajaran sederhana yang saya kembangkan bersama guru-guru di sekolah adalah Kartu Pintar Membaca (KARPICA). Karpica ini dikembangkan karena masih banyak siswa kelas I dan kelas I yang sulit mengidentifikasi huruf dan mengeja imbuhan dalam kata-kata tertentu. Oleh karena itu, dikembangkanlah Kartu Pintar Membaca dengan tampilan yang sederhana.
Beberapa cara-cara diatas sebenarnya adalah upaya untuk mengajak dan menumbuhkan kembali semangat guru-guru dalam mengajar dan meningkatkan kompetensinya-tanpa harus menggurui atau menggantikan posisinya dalam pembelajaran. Seiring dengan berjalannya kegiatan-kegiatan semacam ini, para guru kemudian bersedia untuk belajar membuat Email dan mengirim E-mail, mengoperasikan Zoom Meeting dan Google Meet. Kemauan ini merupakan sebuah langkah yang positif bagi kami, sebab dalam keterbatasannya para guru masih mau belajar dari siapapun dan bersama siapapun.
Sebagai catatan akhir dari catatan sederhana ini, saya berterima kasih kepada Kemendikbud dan Almamater Tercinta Universitas Negeri Malang yang telah memberikan kesempatan kepada saya mengikuti program ini. Karena dengan program Kampus Mengajar ini, saya bisa memahami bahwa belajar pada tataran implementasi di sekolah-sekolah pedesaan jauh lebih kompleks dari hanya sekadar belajar pada tataran teoritis di gedung kampus.
Majene, 03 Juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H