Mohon tunggu...
ahmad fuady
ahmad fuady Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bukan Superman

27 Maret 2011   01:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:24 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“If men were angels, no government would be necessary. If angels were to govern men, neither external nor internal controls on government would be necessary.” – James Madison Televisi sudah menjadi arena pawai kritik dan kampanye gosip. Bahkan, bukan sekadar infotainment yang terperangkap dalam nuansa prasangka, berita dan temu wicara sudah mulai berubah dari pola konstruktif yang diharapkan menjadi ajang yang kerap kali terkesan dekstruktif. Demokrasi memang berhasil menghembuskan nafas baru dalam pertempuran opini dalam satu dasawarsa terakhir. Tapi, di situ pula muncul kesukaran untuk memilah mana opini yang tepat, dimunculkan oleh orang yang tepat, dan menghasilkan keluaran yang tepat. Tak ada yang membatasi orang berbicara karena siapapun merasa memiliki hak meski tanpa kompetensi dan kredibilitas. Saya berharap ada manusia iseng yang rela membuka seluruh stasiun televisi dari pagi hingga malam dan mencatat berapa ribu kritik, bahkan cacian, kepada pemimpin yang mereka obrolkan setiap hari. Dari masalah lagu hingga bencana, dari sikap ragu-ragu sampai pembatalan rencana. Saya tak mengerti siapa yang keliru. Beberapa kali terdengar suara, “Begitulah semestinya pemimpin. Mereka kan dipilih untuk itu...” Tapi, segera ditimpali oleh suara lain yang entah dari mana, “Jangan melulu menyalahkan pemimpin. Ambil cermin, karena polah mereka itu mencerminkan kita sendiri, masyarakatnya.” Pemimpin mencerminkan rakyatnya sendiri, katanya. Toh, saya masih ingat diskusi kecil saya dengan seorang mantan menteri di rumahnya. Kami duduk santai di ruang kerjanya sambil berbincang dan menemukan kata ajaib, “Bukan Superman.” Bupati, Gubernur, bahkan Presiden memang bukan Superman yang setiap kali ada kekeliruan dengan serta merta dipersalahkan. Kritik itu perlu, rekomendasi itu dibutuhkan, tapi yang lebih penting bagaimana membantu pemimpin itu untuk membuat roadmap yang jelas sehingga pikirannya tercerahkan. Kritik semakin disenangi karena mudah dan nyaris tak perlu konsekuensi. Mirip pengamat sepakbola yang berkata A-Z tentang Rooney atau Ronaldo jika mereka bermain buruk. Ilmu kritik pun tak perlu mendalam, kecuali retorika yang lumayan dan kemampuan berkelit. Walhasil, begitulah tampakan televisi dan media cetak hari ini. Nyaris tanpa ada upaya konstruktif –yang bila para pengkritik itu dibebani tugas dan kondisi yang sama, mereka pun akan kelimpungan. Kemacetan sudah merambah ke mana-mana, bukan sekadar di ibukota. Tapi, adakah sedikit harapan kota-kota satelit bisa mengambil pelajaran dan tidak lantas terinfeksi penyakit salah urus. Ada ilmu matematika dalam perumusan model panjang jalan dan volume kendaraan. Ada ilmu kebijakan dalam perumusan peraturan. Ada ilmu planologi dalam perencanaan tata ruang. Ada ilmu psikologi dalam pendekatan masyarakat. Ada pula ilmu politik dalam pelaksanaan kepemerintahan. Mereka yang memenuhi bangku-bangku di universitas itulah yang semestinya jadi harapan besar membangun rencana masa depan yang berimbang. Bukan sekadar kritik pedas yang lewat begitu saja, berteriak lantang asal didengar orang, disukai stasiun televisi karena bicaranya yang lancar dan tak putus-putus, tapi tak juga menghasilkna produk pembangunan yang memberikan manfaat. Atau mungkin saya yang semestinya tahu diri bahwa posisi pengkritik itu memang diciptakan untuk menyeimbangkan kekuatanm, bukan membantu memberi solusi. Saya juga mungkin harus bersabar diri bahwa lahan pekerjaan sudah begitu luas, dan salah satunya adalah profesi pengkiritik –yang bila diberangus akan menambah jumlah pengangguran. Setidaknya, ya pengangguran pengkritik. Kawan saya kerap bertanya, “Lalu kita bisa apa?” Kawan saya yang lain seolah membantu saya menjawabnya dengan menulis artikel tentang ‘busy while waiting’. Toh, kita tak pernah kehabisan kesempatan untuk berbuat baik dan merencanakan banyak kebaikan daripada sekadar menghabiskan waktu untuk mengkritik. Ada rencana besar yang kita idam-idamkan untuk diterjemahkan dalam langkah-langkah sederhana. Seperti diskusi saya sore itu bersama sang mantan menteri saat dia bertanya, “Kamu tahu apa itu visi?” Sungguh, tak ada Superman di muka bumi ini. Yang ada justru kemauan kita untuk terus bergerak dalam skala apapun dalam membangun bangsa ini. Kita yang semestinya menyusun kesibukan kita sendiri agar setiap langkah yang kita ayunkan menjadi bagian dari perbaikan. Bukan menunggu Superman, Ratu Adil, atau malah Nyi Roro Kidul... kamarkosong, oktober 2010  Gambar diambil dari http://3.bp.blogspot.com/_kFEGJ61EKNU/TA9fLC7tRzI/AAAAAAAAAJk/ST0h5vo4Z0A/s1600/superman+logo.jpg

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun