Mohon tunggu...
ahmad fuady
ahmad fuady Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Demokrasi Klakson

7 November 2010   23:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:47 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

There are two freedoms;  the false, where a man is free to do what he likes; the true, where a man is free to do what he ought. – Charles Kingsley Semakin hari saya merasakan tabiat yang berbeda dari penghuni Jakarta, terutama pada kawan-kawan sebangsa dan setanah air saya yang mengendarai motor. Tabiat yang seringkali membuat saya gusar dan tak habis pikir hanya karena bunyi klakson yang harganya terlalu murah di tengah kemacetan Jakarta. Di negeri lain, klakson itu pertanda amarah. Jika standar itu dipakai di sini, tentulah orang-orang akan bertanya dengan terheran-heran, “Mana bangsa yang katanya santun itu?” Ambang batas kesabaran orang Jakarta, terutama pengendaranya, memang semakin turun. Atau mungkin bukan kesabarannya yang gampang terkikis, tapi standarnya yang makin hari makin permisif. Lampu lalu lintas masih merah pun, klakson sudah teriak. Jika ada yang berusaha taat berhenti di belakang garis putih, klakson akan bunyi tanpa henti seolah-olah memaksa, “Mari kita langgar lalu lintas bersama-sama saja. Tidak usah naif.” Bahkan untuk perjalanan yang sebenarnya lancar, klakson tetap berjaya. Tot-tat-tot-tet demi celah yang lebih lapang untuk menyusul dari kanan dan kiri. Menyodok itu sudah lumrah sebagai antitesis dari opini kebanyakan wisatawan yang datang ke negeri ini dan selalu bilang dengan politis, “Orang Indonesia ramah-ramah ya...” Sungguh, sebenarnya saya justru kehabisan alasan untuk mencari penjelasan mengapa klakson bisa bunyi sepanjang jalan raya. Kawan saya pun begitu, bertanya-tanya tentang tabiat klakson Jakarta yang murah polusi suara itu. “Dalam perjalanan 10 km, paling-paling saya cuma membunyikan klakson satu kali. Itu pun kalau memang penting sekali,” katanya. Entah siapa yang meniru siapa, sebenarnya. Tragedi tabiat klakson ini juga ada di mana-mana. Di media, di dewan rakyat, di organisasi kemasyarakatan, dan di setiap tempat yang kekuasaan tidak menegakkan benderanya di sana. Orang dengan mudah meng-klakson-i orang lain, menghujat orang lain dengan harga yang murah. Ambang batas kritik memang semakin rendah sejak era demokrasi menempatkan negeri ini masuk tiga besar dunia sebagai negeri demokrasi terbesar. Partai yang menjamur tanpa alasan dan visi yang jelas sudah jadi patron klakson yang cantik. Bunyinya beragam, bukan sekadar towat-towet, tapi banyak yang memilih bunyi lain semisal ‘klakson’ sepeda balita yang bermusik –meski sebenarnya ya tetap klakson juga. Pengamat politik bertebaran di mana-mana atas nama diri dan organisasinya masing-masing. Bukan hal yang aneh jika kemudian muncul semangat baru di kalangan para ‘kritikus’, “Hantam saja, lalu mundur.” Politik klakson itu pula yang bergerilya di bangku dewan rakyat. Yang penting asal terdengar suaranya, semangat teriaknya, dan kelihatan urat lehernya jika disenter televisi, itu sudah cukup. Klaksonnya sudah bunyi. Sampai akhirnya saya merenung sendirian, apa sebenarnya yang mampu membedakan jalan raya dan bangunan yang terhormat yang menjulang di sisi-sisinya? Bersuara sekadar untuk didengar, agar orang-orang tahu bahwa kita masih punya pita suara, agar semua sorot mata tertuju kepada kita, lalu ada jalan yang lebih lempang untuk melangkah ke depan? Berteriak hanya demi dianggap punya hati nurani, sambil berharap yang diteriaki tidak bertanya balik, “Lalu harus apa?” Berharap-harap cemaslah yang berteriak itu karena pertanyaan yang membalik seringkali tidak bisa dijawab. Atau mungkin lebih baik saya ber-husnuzhon saja bahwa Tuhan menciptakan ‘orang-orang klakson’ itu memang untuk ‘meng-klakson-i’ orang lain, bukan membantu mencarikan solusi. Ah ya, begitu saja. Sehingga saya kemudian semakin pusing mencari alasan jika ada yang bertanya kembali tentang perkara: man kaana sa-ala fahuwa mas-uulun. Yang mempersoalkan, mempertanyakan, dan mengusulkan, dia layak untuk bertanggungjawab. Di titik inilah saya terpaksa kembali ber-suuzhon, jangan-jangan memang praktik demokrasi kita bukan praktik demokrasi Rasul. Demokrasi kita masih demokrasi klakson. Asal bunyi. Biar orang yang di depan kita itu tahu, kita ini ada. Biar semua tahu bahwa di sini semuanya bebas bersuara dan tak ada urusan dengan ketertiban, kenyamanan, apalagi kesejahteraan. Di jalan raya, di gedung rakyat, di kertas dan layar media. Yang penting bebas. Itu saja. Masih ada yang harus dipilah, seperti memilah apa yang Charles Kingsley katakan di awal tulisan ini. Sebagaimana juga harus memilah apa yang disebutkan Rasul berabad-abad silam, i’mal maa syi’ta fainnaka majziyyun bih. Lakukan apa yang kamu mau kerjakan, sungguh engkau akan dimintai pertanggungjawabannya. Ah, jangan-jangan saya juga masih klakson, bahkan kehabisan aki. Bunyinya jelek. Tret-tet-tet. kamarkosong, november 2010 foto diambil dari: http://4.bp.blogspot.com/_nre9tJMdwyE/TFjv6kHTG6I/AAAAAAAADUw/jlDr84FKzEk/s1600/klakson.jpg

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun