Apa yang ia cari selama ini sudah ketemu, ia sudah bertemu dengan manusia apa adanya alias dirinya sendiri. Saat bertemu dirinya sendiri, Ki Gedhe Suryomentaram merasa bahagia atau dalam bahasa Jawa disebut begja. Setiap kali bertemu, ia bahagia (begja), maka penemuannya itu dikenal sebagai Kawruh Begja (ilmu bahagia).
Setelah kejadian malam itu, Ki Gedhe Suryomentaram keluyuran lagi, untuk menemui teman-temannya dan mengutarakan hasil penemuannya (walaupun beliau tidak pernah menganggap Kawruh Begja adalah penemuannya, ia menganggap bahwa Kawruh Begja hanya sebagai thukulane jagad).
Ki Gedhe Suryomentaram juga aktif menghadiri pertemuan-pertemuan untuk membicarakan soal perjuangan kemerdekaan. Bersama dengan teman-temannya, termasuk Ki Hajar Dewantara, rutin menggelar pertemuan setiap hari selasa kliwon yang disebut dengan "Sarasehan Selasa Kliwon". Dalam acara rutinan itu, membicarakan masalah sosial politik. Muncul juga gagasan untuk melakukan perlawanan fisik terhadap pemerintah Belanda. Namun, karena dirasa tidak cukup mempunyai kekuatan, akhirnya mereka sepakat melakukan gerakan pendidikan moral kebangsaan. Hasilnya, pada tahun 1922 didirikanlah Taman Siswa yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara mengajar para pemuda, sedangkan Ki Gedhe Suryomentaram mengajar orang-orang tua. Maka sejak saat itulah, Ki Hajar Dewantara mengukuhkan nama kepada Suryomentaram, yang awalnya Ki Gedhe Bringin atau Ki Gedhe Suryomentaram menjadi Ki Ageng Suryomentaram.
Selain pertemuan Sarasehan Selasa Kliwon, Ki Ageng juga mengikuti pertemuan Manggala Tigabelas. Dalam memperjuangkan kemerdekaan, Ki Ageng mengajukan permohonan kepada pemerintah Jepang, untuk membentuk tentara sukarela. Permintaannya itu dikabulkan, dan hasilnya adalah terbentuknya tentara Pembela Tanah Air (PETA). PETA ini termasuk yang menjadi cikal bakal terbentuknya Tentara Republik Indonesia (TNI).
Saat perang kemerdekaan, Ki Ageng terjun langsung memimpin laskar gerilya yang disebut "Pasukan Jelata" di wilayah Wonosegoro. Setelah kemerdekaan, Ki Ageng kembali memperkenalkan, dan menyebarkan ajaran Kawruh Begja atau disebut juga Kawruh Jiwa kepada masyarakat lewat ceramah-ceramahnya. Hingga akhirnya muncul komunitas-komunitas pelajar Kawruh Jiwa.
Selain melalui ceramah-ceramah, Ki Ageng Suryomentaram juga aktif menyebarkan ajarannya lewat tulisan-tulisan. Banyak tulisan-tulisannya yang sudah diterbitkan, seperti: Filsafat Raos Gesang, Ukuran Kaping Sekawan, Ilmu Jiwa kramadangsa dan masih banyak lagi.
Ki Ageng Suryomentaram meninggal pada hari Ahad Pon tanggal 18 Maret 1962 Masehi. Jenazahnya disemayamkan di kompleks pemakaman Cepokosari, Kanggotan, Pleret, Bantul. Karena pemikiran dan lika-liku hidupnya, Ki Ageng Suryomentaram dijuluki "Sang Plato dari Jawa.
Harapan saya, tulisan-tulisan Ki Ageng Suryomentaram bisa diterbitkan ulang. Agar pemikiran-pemikirannya bisa tersampaikan kepada masyarakat sekarang, khususnya para pemuda penerus bangsa. Buktikan kepada mereka bahwa, pemikiran filosofis bukan hanya datang dari para pemikir barat saja. Namun di negri kita Indonesia, juga lahir pemikiran yang tidak kalah hebatnya.
Sumber referensi
Kawruh Jiwa warisan Spiritual Ki Ageng Suryomentaram, Muhaji Fikriono, Javanica, 2018.