Mohon tunggu...
Farli Lilawaldi
Farli Lilawaldi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hobbyist Digital Writer

Students

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Quarter Life Crisis: Ketika Cita-cita Terbentur Realita

20 April 2021   00:56 Diperbarui: 20 April 2021   01:12 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Galau. Sumber: pixabay.com

"Mau jadi apa aku ya dimasa mendatang?"

"Harusnya Aku tidak mengambil keputusan ini"

"Bagamana jika aku gagal lagi?"

Kalimat-kalimat tersebut sering kali muncul dalam benak anak muda yang sedang dihadapi dengan beragam polemik saat memasuki awal fase menjadi dewasa.

Dalam budaya Indonesia, ketika kita telah menyelesaikan kewajiban masa 'belajar', maka kita sudah dianggap dewasa. Saat masa persimpangan inilah, biasanya kita terjebak dalam kebingungan, dengan usaha apa yang harusnya kita maksimalkan demi memenuhi masa depan indah yang diharapkan oleh orang tua. Hal yang membuat kita bingung adalah, di dalam berbagai pilihan yang ada, keputusan mana yang harusnya kita ambil.

Quarter life crisis ini sebenarnya hanyalah sebuah fase dimana kita dihadapi dengan transisi kehidupan sebelumnya menuju kehidupan selanjutnya. Yang tidak seharusnya dihadapi dengan rasa takut dan bingung yang berlebihan. Perasaan-perasaan yang berlebih itulah, yang justru membuat kita malah semakin terpuruk dan terjebak di dalamnya. Kemudian menyebabkan kita semakin tidak kuasa untuk mengambil keputusan, dan hanya akan berakhir pada paradox kebingungan tanpa henti.

Hal ini biasanya akan muncul ketika kita menyelesaikan masa sekolah, saat kita dewasa memang akan ditujukan beberapa pilihan untuk menjalani kehidupan, tapi akan muncul juga keraguan di dalamnya.

Sejak kecil, tahapan kehidupan kita seolah sudah ditentukan oleh lingkungan dan budaya. Mulai dari TK, kemudian SD, lalu kemungkinan diteruskan ke SMP, dan SMA/SMK. Setelahnya, ada sebagian orang yang mulai dilanda kebingungan ketika memutuskan arah jalan kehidupan, dan ada juga yang sudah memastikan diri akan kemana arah kehidupannya. Itulah mengapa, ada beberapa perbedaan masa dan usia seseorang mengalami krisis ini.

Selepas masa wajib belajar itu, umumnya kita akan dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sederhana, seperti melanjutkan kuliah lagi, memulai karir, atau langsung menikah.

Namun, ketiga pilihan tersebut juga punya jebakan-jebakan yang bisa membuat kita berpikir untuk terus mempertimbangkan, ke mana langkah yang dapat memaksimalkan kepuasan batin kita?

Perlu disadari, semakin dewasa kita artinya semakin sedikit pula teman kita. Bukan karna sedang bermusuhan atau semacamnya, tapi kita akan sama-sama sibuk dengan tujuan hidup masing-masing. Jika dulu yang rasanya sangat mudah untuk janji sekedar ketemu, kini untuk nanya kabar via chat saja, harus menunggu beberapa hari untuk dibalas.

Tentu hal itu tidak terlalu menjadi masalah, karena dalam fase ini yang menjadi prioritas dalam pertemanan adalah, bukan lagi dari kuantitas, melainkan kualitas. Kita harus sadar bahwa, dari sekian banyaknya teman kita, pasti kita akan mulai memilahnya. Teman yang mana saja yang bisa sejalan dengan kita, saling support, dan bisa menjalin keuntungan satu sama lain. Karena nantinya setiap teman kita pasti akan berpikir demikian, oleh karena itu kita harus bisa memakluminya, apabila suatu hari kita sadar kalau lingkungan pertemanan kita semakin mengecil.

Pada akhirnya orang akan datang dan pergi dari kehidupan kita. Kita kemudian mulai merasa butuh mencari seseorang yang bisa mengisi keseharian kita. Tidak butuh hanya seorang pacar, lebih dari itu, kita mulai membutuhkan seseorang yang sanggup untuk saling berkomitmen, yang sanggup menjadi terang dikala gelap dan menjadi gelap dikala semua terlalu terang.

Namun, keinginan itu juga tidak selalu mudah untuk dicapai, berbagai polemik juga bisa muncul akibat terlalu memikirkan ekspektasi diri terhadap apa yang dicari, atau pengaruh dari tekanan sosial yang bisa menyebabkan kita salah mengambil langkah. Lalu kita sadar bahwa menjalin ikatan suci tidak cukup hanya bermodalkan cinta.

Lalu, apakah perjalanan hidup idealnya harus sesuai dengan harapan sosial atau bisa mengikuti passion yang selama ini kita impikan di dalam pikiran. Mana yang harus diikuti?

Situasi ini memang bukanlah proses yang mudah. Tapi menganggap Quarter Life Crisis sebagai masalah sepertinya juga bukan keputusan yang bijak, karena hanya akan membebani kita.

Hal yang bisa kita mulai untuk memahami fase ini adalah dengan menghentikan sifat berpikir berlebihan. Miliki rasa keyakinan pada diri sendiri dan mulailah lakukan sesuatu yang positif.

Kita juga harus mulai mengontrol ekspektasi kita. Jangan mengharapkan sesuatu yang besar dari hal yang bahkan kita belum mulai, cukup nikmati saja proses yang kita mulai itu, dan resapi setiap kegagalan yang ada, lalu benahi lagi. Seperti kata petuah, semakin pahit sebuah obat, justru semakin berkhasiat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun