Mohon tunggu...
M Alfarizzi Nur
M Alfarizzi Nur Mohon Tunggu... Lainnya - Paralegal Posbakumadin Lampung

Paralegal yang senang bertutur melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pasca Kehidupan

4 Desember 2024   18:56 Diperbarui: 4 Desember 2024   19:01 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terbangun di bawah mentari pagi yang telah merekah. Mata yang masih tersayup-sayup mencoba menerka apa yang sedang tengah terjadi, begitu aku sadar telah berada di tepian atas tebing dengan hamparan laut yang luas dan megah. Semelir angin menelisik tubuh yang malang dan dekil ini, deburan ombak terdengar begitu riuh rendah menghantam dinding tebing, dan burung camar yang berterbangan di antara gelombang awan.

Sejenak aku berdiri menatap lingkungan sekitar, memahami dan mencari alasan mengapa diriku telah berada di daratan yang asing ini. "Oh iya, aku telah mati" aku menepuk dahiku. Saat itu tubuhku telah bersimbah darah di medan perang, Timor-Timur, aku ditugaskan untuk menjaga kedaulatan wilayah dari kelompok separatis yang hendak mengadakan referendum.

Na'as mortir itu datang mengenai diriku. Sialnya hanya itu yang aku ingat, namun sekilas aku teringat seseorang yang sangat kucintai di luar sana, "Anak dan Istriku, maaf bila ayah tidak bisa menemani kalian". Aku memang meninggalkan mereka, tetapi ini sedari awal adalah janji diriku kepada Maha Kuasa terlepas aku ditugaskan atau tidak dalam misi itu, dalam waktu yang sama toh juga akan mati menghadap yang kuasa.

Setelahnya aku berpikir kritis sedikit, "Mana Tuhan ?!" sejenak aku bergeming, hanya saja sejauh mata memandang hanya pemandangan yang indah yang memanjakan mata. Aku memutuskan berjalan, barangkali ada persimpangan yang dapat menjadi titik pertemuanku dengan dirinya itu.

Aku berjalan menuruni tebing yang dipenuhi dengan batu dan rerumputan rendah. Tidak terjal, tetapi cenderung rata dan tidak rawan membuat seseorang terjatuh dan terkantuk. Perlahan namun pasti dengan menahan rasa antusias yang telah membara, aku berjalan lurus tanpa tahu arah. Kedua kaki ini terus melangkah hingga di depan sana terhampar bentangan sabana yang luas memenuhi tiap sudut daratan.

Mataku dimanjakan, tetapi aku tidak boleh terlena dengan pemandangan yang lebih indah dari lukisan Vincent Van Gogh ini. Aku memutuskan untuk tetap melangkah ke depan dengan langit biru yang memandangi tiap usahaku mencari jalan. Tidak ada keringat, maupun nafas yang tersengal mengkatup dada, kecuali kebingungan yang semakin nyata. Aku tersesat, pikirku. Sekian lama aku berjalan, aku tidak menemukan sebuah penghujung. Aku mulai berpikir kalau surga telah menjauhi diriku, saat itu kebimbangan mulai merayap masuk ke dalam pikiran dan imanku.

"Meong..." terdengar suara yang familiar, lantas aku mengecangkan telinga, "Meong" itu suara kucing. Mendengar itu aku pun sumringah, rupanya ada makhluk lain yang tersesat di persimpangan alam ini. Aku menyisir tiap ilalang dan rerumputan tebal yang rupanya sumber suara itu terdengar dari kucing dewasa dengan warna putih serta corak oranye yang terdapat di sekujur badan. Aku hendak mengambil dan memeluknya, tetapi kucing itu justru menjauhi diriku, entah lantaran kikuk atau takut.

Aku mendekati kucing itu kembali, tetapi kucing itu segera menjauh ke depan. Aku melangkahkan kaki kembali ke arahnya, kembali kucing itu menyadari maksudku, hanya saja kucing itu tidak pernah lari tunggang langgang setelah melihat niatku. Aku memandangi wajah kucing itu, dia sibuk dengan dirinya sendiri: mengusap dan menjilati kaki kanan maupun kaki kirinya.

"Ikuti aku.." sejenak aku mendengar suara, lantas aku mencari sumber suara itu. "Di depanmu sini.." baru aku menyadari kalau suara itu berasal dari kucing itu. Kucing itu kembali pergi, aku pun mengikutinya dari belakang. Kucing itu berlari cukup kencang melewati rerumputan dan ilalang, tidak ingin ketinggalan aku menambah kecepatan pada lutut-lututku ini.

Kami terus berlari melewati sabana, aliran sungai kecil, dan perbukitan pendek dengan bebatuan berukuran sedang. Selepasnya itu bau laut semakin pekat, aku menduga kalau sebentar lagi akan ada pesisir pantai yang bisa dilihat oleh mata telanjang dari perbukitan ini. Benar saja, terlihat benang pantai yang membujur ke arah sinar matahari yang terus merangkak ke puncak langit. Aku terkesima dan aku pun terlena, kucing itu telah pergi tandas. Tidak ada raungan ataupun hentakan kaki kecuali angin yang bertiup mengaburkan keberadaan kucing itu seperti debu. "Aku belum mengucapkan terima kasih.." aku membatin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun