Mohon tunggu...
M Alfarizzi Nur
M Alfarizzi Nur Mohon Tunggu... Lainnya - Paralegal Posbakumadin Lampung

Paralegal yang senang bertutur melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Pohon Kehidupan (Chapter 1)

23 Oktober 2024   08:17 Diperbarui: 25 Oktober 2024   13:39 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ayah dan Ibu yang sedang bermain bola dengan anak (sumber: tempo.co)

"Abi tangkap bola ini..." ujar sang anak, Raffa, menendang bola dengan begitu pelan dan halus. Bola itu menggelinding dihadapan sang ayah, Anwar, yang sedang termangun memikirkan sesuatu. "Abi.." panggil anak itu kembali, Anwar tersadar dari lamunannya di pagi hari itu, tanpa sadar kalau bola yang ditendang Raffa telah menyentuh bagi kaki kirinya.

"Oh ya... , aku kembalikan ya .." jawab Anwar dengan menendang bola kembali ke arah Raffa yang berusaha menangkap bola itu dengan melompat ke arah kiri gawang. Anwar tersenyum, dia bahagia dengan antusias anaknya itu. Tidak lama kemudian, Karina, keluar dari arah ruang tamu menuju belakang rumah dengan membawa beberapa potong buah apel dan roti bakar coklat yang barusan selesai di panggang. Raffa bergegas menuju sang ibu, Karina, dengan membekap bola yang berada di dadanya.

"Roti bakar ya Umi.. ?" tanya Raffa dengan mata berbinar memandang roti bakar yang tampak gurih dan harum itu. Karina tersenyum, sama indahnya dengan matahari pada pagi hari itu, "Ayo cuci tangan dulu. Baru boleh sentuh dan makan roti bakarnya.." Karina mengingatkan. Raffa mengacungkan jempol dan mengedipkan mata sebelah kiri, "Oke bu.." anak itu bergegas ke westafel dapur yang berada di dalam rumah.

Anwar mengambil sepotong buah apel. Duduk menghadap Karina yang sibuk mengupas kulit buah apel itu dengan pisau dapur.

"Sering sekali melamun dirimu ?" tanya Karina.

Anwar tidak menjawab, dia mencoba pura-pura tidak mendengar. "Halo... , ada orang di dalam ?" tegur Karina menaruh pisau dapur dan menjentikan jari di depan kedua mata Anwar.

"Baiklah, karena pekerjaan. Ada banyak kasus yang diterima oleh kantor, jadi banyak klien yang menunggu hasil kerja kantor". Anwar adalah seorang pengacara yang berasal dari salah satu Firma Hukum ternama di Jakarta. Sudah hampir 7 (tujuh) tahun sejak dirinya lulus sarjana ilmu hukum, Anwar telah sibuk di dunia praktisi hukum.

"Berhentilah memikirkan pekerjaan ketika sedang berlibur Anwar. Aku tahu dirimu telah membantu hidup banyak orang. Aku jamin para klien-mu berhutang jasa kepadamu, tetapi akan sangat aneh kalau dirimu sendiri tidak mampu menolong dirimu sendiri"

"Baiklah.." Anwar menghelap nafas. Suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah, Raffa datang dengan membawa satu botol coca-cola yang dirinya ambil dari dalam kulkas. Karina lantas menegurnya, "Hei, tidak ada minum soda !, itu punya Abi nak" ujar Karina merenggut botol coca-cola itu dari tangan Raffa.

*

Tahun 2012, Anwar berserta 2 (dua) adiknya, Thalib dan Badaruddin, sedang mengarungi Sungai Musi dengan Kapal Apung yang membawa wisatawan mengelilingi Kota Palembang. Kapal Apung itu tidak hanya menyajikan pemandangan Kota Palembang pada malam hari, lebih dari itu adalah restoran yang menyediakan menu makanan-minuman khas Palembang; pempek, tekwan, kapal selam, pindang dan es kacang merah.

Pinggiran Sungai Musi terdiri dari pemukiman padat penduduk dan sejumlah bangunan yang terdiri dari ruko dan kios yang dimiliki oleh pedagang. Suasana sekilas tampak sepi, tapi lampu-lampu teras yang berasal dari pemukiman dan bangunan itu seperti bintang-bintang yang berada di langit: berpendar dan bersinar. Deru kapal terdengar dari tiap sudut sungai dan ayunan ombak yang terus membentur dinding daratan.

Anwar melamun, malam itu pikirannya terasa terbawa oleh angin. Kebimbangan tengah dihadapi pria yang berstatus Putra Sulung dari sepasang suami-istri, Bapak Rojali dan Ibu Jaminah. Ibunya, Jaminah, sedang mengidap penyakit kanker rahim stadium 4 (empat) dan beragam tindakan telah dilakukan oleh Anwar dengan menyisikan gajinya dan mengadaikan tanah warisan yang diberikan oleh almarhum ayahnya, Rojali.

Thalib datang dengan es kacang merah yang siap untuk disantap. "Bang, es kacang merahnya telah datang". Terlihat ketiga es kacang merah telah berada di meja, Anwar duduk dan melirik keadaan sekitar, dia mencari seseorang, "Dimana, kakakmu itu lib ?" tanya Anwar.

"Oh Badaruddin ? sepertinya dia sedang berada di atas sedang merokok"

Anwar merasa kecewa dengan perilaku Badaruddin sekarang. Sekitar 5 (lima) hari yang lalu Badaruddin ditahan oleh pihak Polres Kota Palembang atas tuduhan tindak pidana kekerasan terhadap orang karena sebelumnya berkelahi dengan salah satu pedagang di pasar. Padahal dahulu Badaruddin adalah anak yang rajin dan tekun dalam belajar. Masa depan yang cerah telah jelas berada di genggaman tangannya. Setiap pelajaran selalu mendapatkan nilai A, paling kecil hanya mendapatkan nilai B. Namun semua itu berubah ketika ayahnya, Rojali, mendapati diri Badaruddin sedang asik berpesta sabu ketika masa kuliah.

Hukuman diberikan, tetapi tidak datang dari pihak aparat penegak hukum, kecuali ayahnya sendiri. Badaruddin yang seharusnya jera, justru semakin membuat masalah karena merasa Rojali terlalu menghakimi dirinya dengan banyak ujaran kebencian dan serangan fisik, pikir Anwar hingga sekarang.

"Kira-kira bisa kena berapa lama dirinya di penjara ?" tanya Thalib dengan menyantap es kacang merah itu.

Anwar menjauhkan es kacang merah itu, dan kembali memandang dingin Sungai Musi, "Aku tidak tahu, berdasarkan Pasal dirinya bisa kena paling lama 5 (lima) tahun penjara" jawab Anwar dengan nada kesal.

"Apa dirimu tidak bisa mengurusnya ? dia satu-satunya orang yang bisa menjaga ibu di rumah"

"Aku tahu, tapi semakin aku berpikir aku mulai merasa kalau penjara adalah solusi untuk dirinya"

"Ya Tuhan.." jawab Thalib dengan nada keluh.

Badaruddin datang dengan sebatang rokok yang tercantol di antara kedua bibirnya itu. Sebelum duduk, dia menatap Anwar dengan pandangan memohon ampun. Dia merasa bersalah karena telah menjadi beban bagi keluarga ini.

"Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih" Badaruddin mengulurkan tangan kepada Anwar.

Bukan menyambut, Anwar justru menepis uluran tangan itu. Dia sudah terlarut dalam kekecewaan dengan omong kosong yang selalu dilontarkan oleh mulut Badaruddin, "Pembohong !" pikir Anwar dalam benaknya. Merasa direndahkan Badaruddin justru naik pitam dengan menampilkan gestur tegang dan nada tinggi, "Loh, aku ini coba memberikan ucapan terima kasih, tetapi malah di jawab seperti ini. Payah !". Anwar sesungguhnya telah mendidih, tepatnya ketika diberitahu oleh Thalib bahwa Badaruddin telah di tahan oleh pihak Kepolisian beberapa hari yang lalu. Momen ini lantas menjadi puncaknya, Anwar berdiri dan hendak bersitegang dengan adiknya itu.

"Dasar brengsek tidak sadar diri !, kau seharusnya tahu mengapa ayah sangat kecewa kepadamu !" ujar Anwar dengan membentak. Badaruddin terdiam seribu bahasa, tidak ada gerakan apapun kecuali dirinya yang terkaku diam seperti mati berdiri, tatapannya begitu tegang namun dialiri dengan kekecewaan atas perkataan kakaknya itu.

Para pengunjung sekitar yang sedang menikmati makan malam dan kehangatan Sungai Musi menoleh dan berpusat kepada Anwar yang sedang berekspresi berang itu. Semuanya mendadak terdiam, kecuali deru kapal yang masih terus memutari Sungai Musi. Thalib yang merasa akan membuat para pengunjung kapal terganggu memutuskan untuk melerai pertikaian antar kedua kakaknya itu. 

"Hei tenangkan dirimu. Ini ruang publik, tidak enak membuat ribut disini"

Anwar kembali duduk dan menghela nafas, dia mengakui kalau adiknya itu benar. Tindakan ini telah menganggu kenyamanan orang lain dan sudah sepatutnya tidak dilakukan oleh dirinya. Anwar mencoba menenangkan diri.

"Kau juga bang Udin, lebih baik duduk dan menyantap es kacang merahnya dahulu"

Badaruddin mengalah, baginya makian yang disampaikan oleh Anwar adalah sama persis yang pernah dilakukan oleh Rojali kepada dirinya. Perasaan itu sudah menjadi trauma bagi Badaruddin, wajar dirinya langsung bersikap lembek ketika dimaki oleh Anwar. Bayangan Rojali masih terasa hingga sekarang.

Mereka semua duduk dan keadaan sudah mulai kondusif. Es kacang merah tidak terasa sebagai jawaban untuk menyegarkan pikiran maupun dahaga. Mereka saling berdiam diri satu sama lain, tidak ada percakapan yang hendak dibangun, kecuali kesunyian malam yang semakin melekat di kulit mereka.

Badaruddin yang merasa begitu syok tampak begitu memelas. Anwar paham akan ekspresi itu, dan dirinya adalah orang yang paling mudah merasa bertanggung jawab atas perbuatan yang dirinya lakukan. Anwar dengan hati yang terbuka memutuskan untuk menerima uluran tangan Badaruddin.

Anwar menggapai tangan sang adik, "Maafkan aku dik.." 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun