"Rud !. Tenangkan dirimu. Kita di situasi yang tidak menguntungkan".
Kedua belah pihak saling menodongkan senjata api. Tidak terkecuali Van Dirk yang diam-diam merogoh senjata gentel yang tersingkap di balik meja bar. Â Musik berhenti, suasana kedai yang seharusnya menimpalkan suasana riang dan penuh canda tawa berakhir dengan kondisi yang dapat menghantarkan nyawa mereka kapan saja. Emosi yang seharusnya dapat dikendalikan berubah liar lantaran percakapan rasisme yang dilakukan oleh pihak militer Belanda. Tidak bukan militer belanda, tetapi hampir seluruh pengunjung Non Pribumi yang berada disana.
Romi memunculkan kepalanya sedikit dari bilik pintu dapur. Walaupun sedikit merasa takut, jiwa nasional Romi terpanggil lantaran keberanian pemuda Pribumi yang tidak kenal takut itu. Berani melawan demi martabat diri dan bangsa, pikir Romi. Seketika itu juga Romi melihat Van Dirk yang turut siap siaga.
"Mr Van Dirk, aku mohon dapat dirimu bisa menenangkan kedua belah pihak. Bila tidak, kau tahu apa yang terjadi. Kedaimu akan tutup" ujar Yono memohon
Van Dirk memunculkan mimik wajah yang mengeras. Sorot mata yang begitu tajam menatap Yono itu dengan sigap mengeluarkan tindakan yang tidak begitu ramah.
"Tutup mulutmu kaum pribumi kolot !. Beraninya kalian datang kesini !" maki Van Dirk dengan suara yang memekik. Dirinya menodongkan senjaga gentel dihadapan wajah Yono.
Para Noni Belanda yang telah berdandan manis, lipstik yang merah merona, taburan riasan wajah yang demikian putih dihadapkan dengan situasi yang mencekam seperti ini memutuskan mereka untuk pergi keluar dari kedai dengan mengacuhkan kejantanan para laki-laki yang tidak mengenal kedamaian sore senja. Van Dirk melihat banyak para Noni Belanda dengan latar belakang anak pejabat itu pergi meninggalkan kedai, baginya itu sangat tidak baik bagi keberlangsungan usaha miliknya.
"Sial !" Van Dirk mengumpat.
Tidak hanya Rudi, Roland juga menodongkan senjata api, tetapi tidak pada serdadu militer Belanda itu namun kepada Van Dirk. Yono berdiri meninggalkan meja bar dan mengangkat kedua tangannya seperti seorang yang sedang mengkumandangkan takbir ketika sholat. Sejenak mereka terdiam, mereka seperti menunggu pihak mana yang akan menarik pelatuk terlebih dahulu. Jam yang terus berdetak menuju waktu matahari terbenam hanya menambah hiruk pikuk ketegangan di dalam kedai tersebut.
Kolonel Vogel percaya para Pribumi ini belum dikuasai oleh alkohol. Kesadaran mereka masih penuh dan terkendali, Kolonel Vogel berpikir untuk memberikan tawaran lain kepada para Pribumi itu agar tidak melakukan tindakan gegabah. Alih-alih menarik pelatuk pada senjata api mereka. Kolonel Vogel sama sekali tidak menginginkan itu.