Taras melenggakan kaki dari kantornya. Banyak yang mengira dengan paras cantik dan berkulit eksotis seperti dirinya pasti telah kadung memiliki seorang pasangan. Sebaliknya sudah beberapa tahun terakhir ini Taras tidak pernah merasakan cinta. Berharap ada seorang pasangan yang menyantol dalam kehidupannya, justru dirinya tenggelam dalam kesendirian. Taras menyadari itu, tetapi dia memutuskan menutup diri dari hingar bingar orang lain dan lebih memilih berpura-pura baik-baik saja selama ini.
Taras menunggu di pinggiran trotoar. Dirinya memesan ojek online ke suatu tempat. Tidak lama ojek itu datang, memberikan helm dan pergi tandas dari kepungan gedung pencakar langit itu. Selama di jalan Taras melihat kilas balik kampung halamannya. Halte-halte bus berubah menjadi pondokan yang berada di pantai. Angkutan jalan berganti menjadi kuda yang tengah berlari di pinggiran pantai. Gedung perkantoran besilih menjadi bukti-bukit hijau. Imajinasi Taras sangat begitu dalam, hingga tidak tersadar bahwa langit di Jakarta pada sore hari itu telah berubah menjadi jingga.
Begitu indah hingga membuat kedua mata Taras terbelalak. Seolah tidak percaya, Jakarta yang selalu diartikan dengan kota seribu ambisi ini dapat menampilkan lukisan yang menawan. Taras tersenyum, dia berpikir hari ini akan menjadi hari yang baik baginya.
*
Tujuan ojek yang ditumpangi oleh Taras telah sampai. Segera dirinya mengeluarkan secercah uang untuk dibayarkan kepada pengemudi ojek online itu. Sekarang Taras berada di perumahan kelas menengah atas. Bukan sesuatu yang murah atau mahal bagi dompetnya, dan juga bukan untuk pertamakalinya dia berencana menyewa rumah baru. Pindah dari satu rumah ke rumah lainnya merupakan hal yang biasa. Baginya soal rumah itu bukan hanya soal kenyamanan, lebih dari itu soal ketenangan batin. Taras mencari itu, dan dirinya tidak mendapat hal itu di rumah sebelumnya.
Langit senja telah menunjukan sisi gelap malamnya. Saat itu Taras masih menunggu agen properti yang telah berjanji akan menemui dirinya tepat waktu. Geliat gelisah terlihat dari Taras, sesekali dirinya menggaruk kedua tangannya lantaran nyamuk yang mulai bekerja mencari darah manis. Enggan ingin mangkat, Taras mencoba terus menyakinkan dirinya bahwa agen properti itu akan datang sebelum maghrib. Beruntung kegelisahan Taras langsung dijawab oleh kehadiran agen properti itu. Agen properti itu bernama Joko.
"Aih, Taras...."
"Lah lo Joko.."
Benar, kedua insan ini bertemu lagi setelah sekian lama setelah terpisahkan oleh waktu. Namun bukan berstatus sebagai pasangan, akan tetapi sebagai teman. Kecanggungan menerpa mereka selain angin sore yang berdesir melewati perpohonan rindang. Mulut terasa terkunci, mata terasa kaku, telinga terasa tersumbat. Keduanya seperti patung yang hanya ditakdirkan untuk saling menatap.
"Huh !" ujar Taras
"Nona, dengan menjujung rasa profesionalitasku silahkan mengunjungi rumah favoritku ini"