Mohon tunggu...
M Alfarizzi Nur
M Alfarizzi Nur Mohon Tunggu... Lainnya - Paralegal Posbakumadin Lampung

Paralegal yang senang bertutur melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bersapa, Bertutur, dan Berpamit Diri Setelahnya

15 September 2023   09:16 Diperbarui: 15 September 2023   09:21 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertemuan antara kedua pria dan wanita yang telah berpisah lama (montasefilm.com)

Hilir balik kendaaran beransur ramai di jalanan. Malam itu Jakarta tampak begitu padat. Tidak tahu mengapa hal itu terjadi, tetapi yang jelas kemacetan pada malam ini terjadi hampir setiap bulan. Pegawai korporat sangat mengenal fenomena tersebut, tidak terkecuali Taras yang saat ini masih terpatri manis di meja kerjanya. Kasak-kusuk terjadi ruang kantornya, terlihat berkas bertumpuk berserakan di hampir setiap sisi mejanya. Taras yang sudah hampir menjajaki dunia korporat ini sudah sangat begitu memahami lingkungan kerja yang selalu tidak kondusif, oleh karenanya nuansa tersebut telah menjadi sahabat baginya.

Taras beranjak dari kursi putarnya itu. Menengokan wajah ke arah jam yang telah menunjukan pukul 20.30 WIB malam. Bagi perempuan yang berasal dari NTB, sudah tentu hempasan tali pinggang dari ibunya tengah menunggunya lantaran pulang saat hari telah gelap. Namun di Jakarta budaya seperti itu tidak berlaku. Laki-laki atau perempuan sudah semakmurnya bekerja demi memenuhi target. Kelelahan dan depresi tentu sudah menjadi bagian dari pekerjaan. Demikian Taras merasakan hal itu.

"Bruak !" berkas terjatuh ketika hendak disusun kembali ke lemari. Taras memandangi berkas itu dengan tatapan kosong. Seolah waktu begitu lambat, setibanya itu juga tangisan air mata mulai menyertai pipi yang elok itu, dan terjatuh di berkas itu dengan meninggalkan jejak air mata Taras. Dirinya tahu beberapa tahun terakhir ini adalah hari-hari yang berat. Status jabatan yang tinggi tidak menjamin keleluasaan waktu untuk bernapas, beristirahat, alih-alih bermain. Semuanya itu hanya mimpi, terikat dalam nuansa fana pekerjaan yang tidak berhujung, yang mana perlahan demi perlahan akan merenggut kesadaran Taras sebagai manusia.

Jalanan begitu ramai seperti biasa. Banyak beberapa pegawai korporat juga yang bergegas menuju arah pulang. Kopi Starling (Starbucks Keliling) terlihat mangkir di setiap sudut-sudut trotoar jalan. Sebagai perantauan yang sudah menahun di Jakarta, dalam benak pikiran Taras selalu dibayangi dengan kampung halamannya yang berada di Lombok, NTB. Situasi yang sudah malam ini mengingatkan Taras akan suasana senduh di pinggiran pantai. Beberapa orang memang keluar malam, tetapi sedikit dari mereka untuk bersibuk diri atau bersundau gurau. Dahulu, Taras mengingat, sang Ayah selalu mengingatkan kalau malam adalah waktu yang terbaik untuk berkontemplasi.

Sejenak kita tinggalkan terlebih dahulu setiap sendi-sendi kewajiban dengan mengingat dan mengevaluasi kembali tentang apa yang dilakukan pada hari ini. Taras sangat mengingat perkataan ayahnya itu. Namun perkataan sang ayah itu hanya selalu terlintas dalam pikirannya. Alih-alih akan dipraktikan, dirinya lebih memutuskan untuk berbesih diri dan berleha-leha di kasur secepatnya.

"Oh, tuhan. Begitu membosankan hidup seperti ini" ujar Taras.

Pegawai dengan gaji 15 juta-pun tidak mampu membuat Taras bahagia untuk hidup di Jakarta. Hari demi hari dirinya dihadapkan dengan kebosanan, ketidakpuasaan, dan kesendirian. Walaupun banyak dari rekan kerjanya yang tampak begitu humoris dan mudah dalam bertutur, tidak juga mampu membuat dirinya bahagia. Melangsa hidup Taras di antara gemerlap kesuksesan karirnya.

*

Di sudut lain Kota Jakarta. Agen properti sedang dihadapkan dengan situasi krisis. Beberapa perusahaan properti mengalami kemunduran karena tidak mampu mengejar profit lantaran sepi pembeli. Joko merupakan salah satu penyintas. Tahun lalu dirinya dipecat oleh perusahaan properti tempatnya bekerja. Perusahaan itu bilang karena kondisi keuangan yang tidak membaik maka beberapa karyawan yang harus menjadi tumbal, dan Joko adalah salah satunya.

Menolak untuk menyerah, Joko bangkit dari keterpurukan. Dirinya nekat membangun nama sebagai agen properti tidak bertuan. Dirinya hendak berjalan sendiri, walaupun hasil selalu nihil. Setiap pagi dia harus berdandan sedemikian rapih, menggunakan jas, celana hitam, sepatu pantopel, dasi warna-warni dan tas jinjing berkulit "ular". Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah menarik minat pelanggan, walaupun harus diketahui Joko cukup bodoh dalam bernegosiasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun