Paras manis mengundang tangis mengais sukma
Pekikan suara mungil tak tahan diterpa gemuruh guntur
Desiran angin bukannya menyapa manis malah menampar wajah negeri yang jarang marah,
Jarang mencibir, jarang merusak damai yang Semesta berikan
Aliran air mengairi jiwa hingga tak tahu ke mana arahnya
hingga air mata jatuh di atas air yang keruh,
Air yang tak enak dipandang mata.
 Mengapa air begitu dasyatnya membawa amarah hingga rumahku kau runtuhkan?
Jembatan penghubung antara aku dan aku yang lain kau lenyapkan.
Menyedihkan kisah yang membingkai nuraniku
Aku adalah Flobamora yang sekian tahun hidup bersama amora
Aku harus sabdakan bahwa Aku haus adalah sajak yang pernah menggema ditelingaku
Begitu sedih meratapi koyaknya hati yang merindukan pancaran cahaya
Lebih menyedihkan menatap cahaya petir memotret duka yang kurasa
Sampai di titik ini, suara rasa membahana sepanjang gelombang rindu
Rindu yang tenggelam dalam duka nestapa
Dan rindu harus terkuburkan bersama duka
Setelah aku melangitkan harap dan melayangkan syukur
Ikhlas
Betapa dalam setiap huruf yang ku rakit jadi kata
Dan betapa luas setiap kata yang ku tenun jadi sajak
Berisikan salam pisah bagi yang pergi
Salam semangat bagi yang bertahan di negeriku
Aku pun harus bertanya mengapa aku harus seperti ini?
Tapi kepada siapa aku harus mencari jawab?
Aku selalu menanti hingga fajar menyingsing
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H