Mohon tunggu...
Raihan Sayyidina
Raihan Sayyidina Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Your life is the result of your thinking ....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jadi Tim Sukses atau Tim yang Sukses?

7 April 2014   21:46 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pernah didapati politisi DPD RI mengangkat 4 staf dengan gaji dari Sekretariat Jenderal DPR-MPR RI yang maksimal untuk 2 orang dengan peruntukkan 1 porsi untuk staf ahli dan 1 porsi untuk sekretaris pribadi. Akhirnya, gaji untuk 2 orang dibagi rata untuk 4 orang dengan metode pembagian pukul rata dan tidak mempertimbangkan kompetensi masing-masing personal. Bisa dibayangkan, lokasi tempat kerja di daerah Senayan, di mana kita kenal dengan high cost-nya, kemudian mendapat gaji dengan nominal di bawah Rp. 5 juta per bulannya, bersih, tidak mencakup tunjangan apapun. Dengan gaji sebesar itu, kemudian mereka memiliki anak-istri yang harus dinafkahi, ditambah dengan biaya transportasi dari rumah menuju gedung MPR-DPR, kasihan jadinya.

Kalaupun tidak mendapat jabatan apapun, dan banyak yang seperti itu. Para politisi menelantarkan timsesnya. Ini yang bahaya, karena timses yang tidak kebagian kue, berpotensi untuk menjadi mafia di pemerintahan. Entah itu mafia proyek ataupun mafia perizinan. Mudah saja, cukup mencatut nama sang politisi, mereka akan menawarkan jasa atau melakukan intimidasi ke pejabat pemerintah yang berwenang menyelenggarakan tender proyek.

Di sinilah kemudian para politisi harus cerdas dan bijak melihat dan mengondisikan timsesnya. Seringkali timses menjadi biang keladi permasalahan di masa depan, yang justru akan menjatuhkan citra si politisi itu sendiri. Tidak mudah mencari timses yang ikhlas 100 persen, membantu para politis untuk mencapai tujuannya. Mungkin pada sebagian politisi, mereka beruntung bisa mendapatkan timses yang mapan secara ekonomi, sudah memiliki pekerjaan ataupun bisnis yang settled, sehingga tidak perlu “merecoki” si politisi apalagi terkait dengan urusan uang. Tapi kondisi ini belum tentu bisa dialami oleh sebagian besar politisi lainnya, di mana mereka harus siap dengan realita bahwa timses mereka kebanyakan pengangguran, preman lokal, calo tanah atau pemuda nongkrong yang sok jagoan.

Beberapa politisi kemudian memutuskan membuat lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menampung timses-nya. LSM ini diharapkan bisa membantu ekonomi timsesnya. Celakanya, justru LSM-LSM seperti inilah yang kemudian memunculkan ketidaknyamanan publik. Misalnya memeras para pelaku usaha dengan mengatasnamakan masyarakat atau “memaksa” pemilik tempat usaha untuk mengelola tempat parkiran.

Suka ataupun tidak ini merupakan fenomena yang terjadi secara riil di masyarakat. Tentunya inilah ekses dari sistem perpolitikan yang kita jalani. Timses boleh-boleh saja berbangga diri jika politisi yang mereka usung bisa menang dalam Pemilu, Pemilukada atau bahkan Pilpres. Tapi, what next? Bagi anggota timses yang memiliki pekerjaan, mereka akan kembali menjalin rutinitas seperti biasa. Bagi anggota timses yang pebisnis, mereka akan melakukan business as usual. Bagi anggota timses mahasiswa, mereka akan kembali fokus pada studinya. Nah, lalu bagaimana dengan anggota timses yang pengangguran sekalipun mereka sudah menyandang gelar sarjana? Bagi yang sarjana atau sudah pascasarjana, mungkin bisa berkompetisi untuk mendaftar sebagai staf si politisi. Entah itu staf ahli atau hanya juru ketik dalam arti staf pribadi. Yang tidak sarjana?? -silahkan Anda tebak sendiri-

Itu sebabnya, para timses pun perlu mempertanyakan arti “Tim Sukses”, siapa yang sukses? Apakah hanya politisi yang mereka usung saja atau mereka juga merasakan kesuksesan. Bersyukur-lah si politisi kalau timsesnya tidak mengharapkan apapun kecuali kinerjanya yang harus kinclong dalam membela kepentingan masyarakat. Bagaimana kalau mereka memiliki timses yang ternyata mata duitan atau bermental proyek?

Sudah saatnya para politisi harus jeli dan melakukan mapping dengan baik terhadap timsesnya. Untuk beberapa orang yang memang memiliki kapasitas yang strategis, kenapa tidak jika mereka di-hire profesional, mendapat gaji setiap bulannya. Memang akan keluar biaya, tapi itu bisa dikategorikan sebagai investasi SDM. Keluar biaya, namun pekerjaan si politisi menjadi ringan karena bisa melakukan fungsi delegasi. Politisi jangan mengeluh soal biaya, karena ketika mereka memutuskan untuk terjun dalam dunia politik, sesungguhnya sudah harus tahu bahwa politik itu high cost. Seharusnya mereka pun bijak bahwa timsesnya yang loyal pun memiliki keluarga, ada anak-istri yang harus dinafkahi. Masa iya mereka harus “kerja bakti”??? Nah, bermula dari kerja bakti seperti inilah di kemudian hari akan membuat timses menjelma sebagai mafia, dan malah menambah penyakit baik di masyarakat maupun di pemerintahan.

Bagi siapapun yang terlibat sebagai timses, perjelaslah posisi, kalau perlu lakukan kontrak tertulis agar jelas hak dan kewajiban. Kalaupun memang para timses ini ikhlas melakukan kerja bakti, maka itu sudah melalui pertimbangan matang dan didukung dengan kesiapan ekonomi yang baik, sehingga tidak akan menggantungkan penghasilan dari politik. Bukannya mengharap sumbangan dana dari sang politisi, tapi mereka malah membantu pendanaannya. Politisi yang memiliki timses seperti ini harusnya senang, karena beban biaya bisa dikurangi, dan mereka harus membayar itu semua dengan kesungguhan kerja dan prestasi politik.

Dalam tataran realistis, kebutuhan hidup harus dipenuhi, dan uang masih menjadi sarana utama pemenuhannya. Timses walau bagaimanapun adalah manusia biasa. Mereka juga akan pusing kalau SPP anaknya belum terbayar dan uang belanja istri belum tercukupi. Bagaimana mereka bisa menjalankan kehidupan keluarga yang harmonis? Kalau hal-hal mendasar-nya terganggu dan berpotensi menimbulkan konflik?

Semoga para politisi yang memiliki timses mampu bersikap bijak untuk menjaga loyalitas pendukungnya. Mereka harus memiliki rencana yang matang bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk timsesnya. Jangan “campakkan” mereka setelah menang dalam event politik. Balas-lah kebaikan timses sesuai dengan porsi dan kapasitasnya. Itu sebabnya mapping internal  perlu dilakukan oleh para politisi, sehingga tidak salah menempatkan orang sebagai timses.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun