Mohon tunggu...
Raihan Sayyidina
Raihan Sayyidina Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Your life is the result of your thinking ....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jadi Tim Sukses atau Tim yang Sukses?

7 April 2014   21:46 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tidak terasa, Pemilihan Umum (Pemilu) akan berlangsung dalam kategori hitungan hari. Bulan Maret telah berlalu,  dan April pun telah datang. Gegap gemita pelaksanaan kampanye para calon legislatif berikut dengan partai poltik (parpol) pengusungnya terasa sekali. Pemandangan yang tidak asing, menghiasi pinggiran jalan dan sudut-sudut perkotaan. Baliho dengan berbagai ukuran, poster yang tertempel di sana-sini, stiker, spanduk, booklet. Media sosial pun menjadi ramai oleh berbagai status dan komentar seputar kampanye.

Nah, dalam konteks note kali ini, saya tertarik untuk mengangkat issue mengenai tim sukses atau timses.  Timses bisa orang per-orang atau berkelompok,b atau bahkan dinaungi dalam wadah sebuah institusi. Intinya, mereka bekerja untuk memuluskan orang-orang atau golongan yang mereka anggap layak untuk didukung, menuju kemengan dalam hajat politik.

Jangan salah, kerja timses ini luar biasa hebat dan melelahkan loh. Millitansi mereka-lah yang bisa membuat siapapun yang didukungnya bisa mencapai tujuan. Misalnya para calon anggota legislatif (caleg), mereka bisa mendapatkan kursi di parlemen, itu semua ada andil jasa timses dalam porsi yang besar.  Menjadi sebuah rumusan umum, siapapun yang berhasil memenangkan tujuan politiknya, di balik layar kemenangan tersebut, ada loyalitas pendukung, dan semua itu di-create oleh timses.

Timses yang berhasil memenangkan calonnya, akan selalu diterpa isu "pembagian jatah politik". Publik sudah hafal dengan hal seperti ini yang sudah terpolarisasi, bahwa yang memiliki andil besar dalam memenangkan tujuan politik, akan mendapatkan "kue" yang besar pula. Wajar dan sah-sah saja ketika hal tersebut terjadi. Toh, ini sepenuhnya hak prerogatif politisi yang dimenangkan oleh timses-nya sebagai bentuk terima kasih. Hanya saja acara “pembagian kue” ini akan menjadi tidak menarik di mata publik ketika “kue-kue” politik diserahkan kepada mereka yang tidak capable serta memiliki kredibilitas yang buruk. Memangnya seperti apa jenis orang-orang yang dimaksud?

Misalnya saja, politisi yang disokong oleh timses yang berlatar belakang kontraktor hitam. Kontraktor hitam bisa diartikan sebagai pengusaha yang memperoleh penghasilan dari bisnis tender baik berupa pengadaan, pembangunan fisik, instalasi, dan berbagai jasa lainnya, namun dalam memperoleh tujuannya, mereka melakukan cheating. Mereka berani meng-entertaint pejabat pembuat komitmen (PPK) dengan cara-cara diluar kewajaran seperti gratifikasi seks, atau melakukan intimidasi dengan pola-pola premanisme. Ketika sudah memenangkan proyek pun, mereka akan men-dress up anggaran dan mengurangi mutu produk yang mereka kerjakan secara signifikan, demi menadapat keuntungan lebih karena harus bisa “setoran” baik ke pejabat yang memenangkan proyek, politisi atau karena mereka memang serakah.

Jenis-jenis entertain tersebut bisa kita ukur aspek kewajarannya. Jika proyek sudah selesai dikerjakan, kemudian kontraktor mendapatkan profit yang lumayan, dan mereka memberikan sebagian profit tersebut sebagai tanda terima kasih kepada pejabat yang membantu meng-golkan proyeknya, dengan jumlah yang diserahkan kepada si pelaksana proyek, maka itu bisa dikategorikan wajar. Akan tetapi ketika pejabat yang berkepentingan sudah menentukan “tarif” di awal apalagi menyebutkan prosentase yang diinginkan dari dana proyek yang cair, wah… ini yang membuat banyak proyek di Indonesia menjadi tidak berkualitas. Contoh riilnya mudah saja. Sudah seberapa sering pengaspalan jalan dilakukan di kota kita? Namun bagaimana hasilnya? Belum setahun sudah jalan yang diaspal sudah bolong kembali.

Realitas lain juga dihadirkan di hadapan kita manakala politisi yang berhasil memenangkan Pemilu atau Pemilukada mengangkat timsesnya sebagai staf ahli. Staf ahli memiliki fungsi yang strategis untuk memberikan advice, hasil analisis, dan menjadi early warning officer bagi politisi. Staf ahli bukanlah berfungsi untuk mengatur jadwal harian politisi, mengatur appointment atau sebagai juru ketik. Pekerjaan administratif semacam itu seharusnya dikerjakan oleh sekretaris atau staf pribadi. Itu sebabnya dalam mengangkat staf ahli, pengalaman, kemampuan analisis dan tingkat akademik harus menjadi perhatian utama. Sudah selayaknya staf ahli memang diduduki oleh orang-orang cerdas, berwawasan luas dan kalau bisa sudah melakukan studi lanjut (minimal S2) sebagai leverage, dan seharusnya mereka pun digaji besar mengingat peran dan fungsi strategisnya.

Mohon maaf, dalam praktik politik di negeri kita, banyak staf ahli yang tidak kompeten (walaupun tidak sedikit pula yang kompeten). Pengangkatan mereka sebagai staf ahli lebih dikarenakan balas budi politik terhadap kerja keras mereka memenangkan sang politisi. Pada akhirnya, si politisi pun mempekerjakan orang-orang yang mereka sebut sebagai “staf ahli” hanya sebagai juru ketik, penerima dan penyuguh minum tamu, atau mengatur jadwal harian. Jauh dari fungsi dan peran staf ahli yang sesungguhnya yaitu menjadi “west wing” sang politisi.

Memang tidak mudah mencari orang untuk dijadikan timses. Apalagi jika kategori yang diberikan sangat ideal. Pada akhirnya banyak politisi yang lebih melihat pada aspek loyalitas bukan kapasitas. Apalagi jika diketahui mereka memiliki kemampuan untuk melakukan penetrasi politik hingga ke grass root. Walaupun untuk banyak hal para politisi masih harus berkonsultasi dengan pihak lain bahkan di luar timses yang membutuhkan tingkat intelektulitas tinggi.

Semua akan terasa pada saat event politik usai. Pemenang sudah diumumkan, dan saatnya mengatur berbagai hal untuk bekerja baik di parlemen maupun di kursi eksekutif. Jelas, pada titik final, maka para politisi akan melihat kembali, siapa yang paling berjasa besar memenangkannya. Pada titik inilah potensi “kegalauan” bisa terjadi, apalagi jika jumlah orang dalam timses yang mendukungnya lebih dari seorang. Apa pilihan “ucapan terima kasih” yang paling tepat?

Banyak didapati, para politisi justru terjebak oleh keadaan akibat rasa tidak enak. Ingin diberi porsi jabatan staf ahli, namun kapasitas timses tidak memadai. Ingin diberikan jabatan sebagai PNS, prosedurnya cukup panjang. Ujung-ujungnya dijadikan staf pribadi sekalipun jumlahnya dipaksakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun