Mohon tunggu...
Farizan Hawali
Farizan Hawali Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Student

Mahasiswa S-1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Kelas Khusus Internasional angkatan 2020/ Law undergraduate student in Faculty of Law, Universitas Indonesia with International Undergraduate Program.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam Minoritas dan Islamophobia: Kehidupan Komunitas Islam sebagai Minoritas dalam Menghadapi Islamophobia

30 Maret 2020   18:40 Diperbarui: 30 Maret 2020   18:37 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menjadi seorang yang beragama di Indonesia sangatlah mudah dan bebas. Kita pastinya bisa dengan mudah dan bebasnya mengakui agama kita ke depan khalayak umum. Karena Indonesai sendiri mengakui keberadaan agama di lingkaran kehidupan sehari-hari. Buktinya adalah sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanaan yang maha Esa”. 

Sebagaimana yang kita tahu, Pancasila adalah ideologi atau dasar Negara Indonesia. Suatu dasar dalam pelaksanaan kehidupan kita sehari-hari. Artinya, dengan adanya sila pertama itu, Indonesia secara tidak langsung menyetujui dan mengakui keberadaan agama dalam pelaksanaan kehidupan masyarakatnya.

Namun, tidak semua agama yang ada di dunia ini diakui oleh pemerintah Indonesia. Hanya ada enam agama saja yang diakui secara resmi oleh pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang merupakan revisi terhadap Undang-undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 hanya diakui enam agama di Indonesia. Yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu (Confusius). Tetapi, hal demikian tidak berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia. Penganut agama-agama di luar enam agama di atas mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan mereka dibiarkan keberadaanya, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Menjadi seorang muslim di Indonesia sangatlah mudah dan nyaman. Jumlah muslim di Indonesia sangatlah banyak. Yaitu berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, penganut agama islam mencapai 209,12 Juta jiwa atau 87 persen dari populasi yang ada di Indonesia. Hal ini menjadikan agama islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Angka tersebut juga menjadikan Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di Dunia.

Hal tersebut dengan mudah menjelaskan bahwa menjadi seorang muslim di Indonesia sangatlah bebas dan mudah. Bebas dan mudah yang kita bahas di sini adalah kebebasan serta kemudahan dalam beribadah dan melaksanakan kegiatan keagamaan lainnya. kenapa bisa dibilang mudah? Karena di Indonesia banyak sekali masjid dan musholla yang berdiri. 

Hampir di setiap kota, dapat dipastikan bisa menemui minimal satu buah masjid yang berdiri. Bahkan di pemukiman yang sangat padat pendudukpun, pasti ada masjid atau musholla yang berdiri dan digunakan oleh penduduk setempat. itulah salah satu contoh kemudahan muslim dalam menjalankan ritual agamanya. Namun, bagaimana dengan saudara-saudara muslim kita yang berada di negara yang penduduknya mayoritas non-muslim?

Walaupun di Indonesia sendiri muslim tidak sepenuhnya terlepas dari masalah. Namun tantangan yang dihadapi oleh muslim Indonesia tidak serumit dengan saudara-saudara Muslim di negara-negara lain dimana mereka menjadi minoritas. Menjadi Muslim di negara-negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim tidaklah mudah, penuh dilema, dan duka. Di satu sisi, mereka harus memegang teguh keyakinan agama terutama dalam praktik ibadah sehari-hari, di sisi lain mereka perlu menyesuaikan diri dengan ritme dan pola hidup yang berbeda di lingkungannya. Mereka menghadapi berbagai tantangan untuk menjalankan keyakinannya. Butuh perjuangan ekstra untuk tetap istiqamah menjalankan keislamannya.

Setelah serangkaian aksi teroris di banyak tempat di dunia yang mengatasnamakan Islam, dunia Barat dilanda Islamophobia akut. Banyak tantangan dan masalah yang harus dihadapi orang Muslim. Tidak hanya berkaitan dengan kebijakan pemerintah setempat yang tidak adil, tetapi juga dengan warga masyarakatnya yang seringkali menaruh curiga kepada mereka. Dengan dalih hak asasi manusia, beberapa negara memang memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap warga Muslim. Namun, tak sedikit pula negara yang bertindak represif dan diskriminatif, setidaknya membatasi gerak-gerik mereka.

Imam Besar Masjid Istiqlal, KH. Nasaruddin Umar, secara gamblang menjelaskan kondisi umat Islam yang hidup di negeri non-Muslim. Penjelasan tersebut terangkum dalam buku ‘Geliat Islam di Negari Non-Muslim’. Buku ini merupakan catatan perjalanan Imam Besar Masjid Istiqlal itu ke beberapa negara di mana orang islam menjadi minoritas. Ketika berkunjung ke beberapa negara di Eropa, Asia dan Amerika, ia banyak bertemu dan berdialog dengan banyak kalangan mengenai kondisi saudara-saudara Muslim di negara-negara tersebut.

Imam Besar Masjid Istiqlal itu, menemukan bahwa masyarakat muslim yang menjadi minoritas di beberapa negara non-muslim mempunyai komunitas islam yang kuat. Mereka memiliki ikatan yang erat mungkin karena mereka sama-sama berjuang sebagai kaum minoritas. Tidak jarang, KH. Nasaruddin Umar menemukan bahwa semangat mereka untuk terus mengembangkan islam sangatlah tinggi. 

Namun, mereka seringkai terhalang oleh regulasi yang dibuat oleh pemerintah yang sering bernada diskriminasi kepada kaum muslim di negara tersebut. Serta mereka memiliki keterbatasan dalam juru dakwah, guru agama, maupun guru mengaji karena masih sedikit orang yang merupakan islam dari lahir. Kebanyakn dari mereka adalah islam mualaf. Sehingga mereka sangat mengaharapkan bantuan yang datang dari negara-negara yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama islam, contohnya adalah Indonesia.

Beliau juga menemukan fakta bahwa selama ini, Indonesia dijadikan kiblat dalam perkembangan dan pengajaran islam di negara-negara non-muslim. Ketika KH. Nasaruddin Umar mengisi materi dan berdialog di komunitas islam di beberapa negara Eropa, seringkali beliau mendapatkan pertanyaan mengenai bagaimana Islam di Indonesia bisa berkembang dan berjalan dengan damai bersama agama-agama lain. Beberapa kali juga beliau mendapati pertanyaan tentang kesediaan Indonesia sebagai negara utama dalam penyebaran dakwah islam ke seluruh dunia dengan cara mengirimkan juru dakwah, guru agama, dan guru mengaji ke komunitas islam yang membutuhkan di berbagai negara non-muslim. Mereka tertarik dengan cara Indonesia dalam hal mendamaikan dan menjadikan semua umat beragama hidup berdampingan. Mereka juga tertarik dengan ajaran islam di Indonesia yang notabene-nya bermahzab Syafi’i. Mereka beranggapan bahwa ajaran islam di Indonesia adalah ajaran islam kedamaian, kedamaian yang dibawa dan disebarkan secara kasih sayang.

Berbicara mengenai peristiwa-peristiwa yang berbau terorisme di berbagai negara di dunia. Pastilah banyak berita yang meangkat berita tersebut. Hampir semua kejadian itu diotaki oleh orang yang mengatasnamakan muslim. Hal itu membuat dunia beranggapan bahwa islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan dan kebencian kepada agama lainnya. Terlebih lagi, di zaman modern ini, informasi bisa dengan cepatnya terdengar oleh masyarakat di belahan bumi lainnya. Hal itu membuat Islamophobia semakin kuat terdengar di banyak negara non-muslim.

Padahal, Islam dalam arti sesungguhnya adalah islam yang mengajarkan kasih sayang, tolerasi, cinta, tanggung jawab kepada semua orang. Bukan hanya kepada sesama muslim saja, tetapi juga semua orang yang ada di muka bumi ini. Jika kita benar-benar mendalami makna islam yang sesungguhnya. Maka kita akan menemukan islam sebagai agama penyejuk dunia. Faktanya, tidak sedikit peneliti-peneliti yang menjadi mualaf setelah meneliti secara mendalam mengenai ajaran islam. Para peneliti itu telah menemukan arti sesungguhnya dari islam dan mereka mendapatkan kebenaran dari hal tersebut.

Jadi sebenarnya, islam adalah agama yang penuh kasih sayang dan humanis. Tidak sepatutnya kita takut kepada agama islam. Kita boleh membuat regulasi mengenai islam maupun agama lainnya, namun tidak boleh bernada diskriminasi. Karena baik agama islam maupun agama lainnya, pilihan itu adalah hak semua orang untuk memilih yang mana yang menurutnya paling benar dan yang paling membawa keberkahan kepada hidupnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun