Selain itu mungkin yang perlu diperhatikan adalah tradisi pengajaran di pesantren lebih menitik beratkan pada aspek pendalaman materi, dan sangat sedikit sekali yang diarahkan pada pengembangan teori, metodologi dan wawasan. Padahal jika kita cermati unsur-unsur keilmuan akan kokoh jika dibangun dan ditopang oleh ketiga unsur terakhir tersebut. Sampai di Sini mungkin kita bisa mengatakan bahwasannya pesantren memang kaya dan melimpah ruah akan materi akan tetapi ia miskin akan teori terlebih metodologi.
Catatan lain yang harus kita renungkan adalah bahwa tradisi epistemologi-keilmuan kitab kuning yang dimiliki oleh pesantren selama ini adalah berpusat pada pola pemikiran ahlul hadist, bukan pola ahlul ra’yu. Tradisi pemikiran pertama adalah tradisi pemikiran yang menjadikan aspek lahiriah dan transmisi (riwayat) sebagi kecenderungan dalam mengkaji dan memecahkan (solving) suatu masalah. Sementara itu aspek rasionalitas kurang mempunyai bergaining position di sini. Oleh karena itu mungkin kritik atas teks sangat berpeluang untuk ditabukan di sini.
Lebih dari itu pertimbangan-pertimbangan lain yang bersifat “what arround the teks” seperti kondisi sosio-kultur ketika suatu teks itu tercipta hampir sulit ditemukan dalam pola pikir yang menganut ahlul hadist. Padahal pertimbangan-pertimbangan yang bersifat “arround” atau bahkan “beyond the teks” tersebut menemui signifikansinya ketika kita bermaksud untuk mengembangkan atau minimal membandingkan (compare) pemikiran suatu teks untuk konteks yang berbeda.
Sebagai ilustrasi adalah bahwasannya dalam disiplin ilmu fiqh sebagi master mindnya pesantren misalnya sumber utamanya adalah madzhab syafi’iy. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam bingkai madzhab Imam Syafi’iy terdapat dua kubu yang bisa dikatakan bersifat paradoksal. Yang pertama adalah aliran Iraq (iraqiyyun) dan yang kedua adalah aliran Khurosan (khurosaniyyun) pada aliran pertama kecenderungan memegangi prinsip ahlul hadist cenderung lebih kuat dari pada aspek rasionalitas, tidak demikian halnya aliran kedua yang yang corak pemikirannya lebih didominasi aspek rasionalitas. Ahlul hadist dimotori oleh Abu Hamid al-Ishfirany (406 H) dan front man dari ahlu ra’yi adalah al-Qaffal al-Marwazi (417 H).
Bila kita melihat keberadaan kitab kuning di pesantren selama ini pemikiran dan genealoginya lebih menjurus pada Imam Nawawi dari pada Imam Rafi’i, muncul sebuah pertanyaan kenapa perbandingannya harus kedua imam tersebut? Karena sebagimana kita ketahuhui bahwa dua sarjana muslim itulah yang “punya rekomendasi” dari para sarjana muslim mutakkhirin sebagi orang-orang yang memiliki otoritas dalam menyeleksi pemikiran Imam Syafi’i. Dan hal itu sudah dirumuskan oleh Zaynuddin al-Malyabary dalam Fathul Muin-nya bahwasannya pendapat yang bisa dipedomani (mu’tamad) adalah pendapat yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Imam Rafi’i, dan jika kedua sarjana tersebut berseberangan jalan maka yang didahulukan adalah Imam Nawawi kemudian Imam Rafi’i, Jumhur Ulama’, pendapat paling pandai dan akhirnya yang paling wara’. Pertanyaan filosofisnya mengapa Imam Nawawi lebih diunggulkan dari Imam Rafi’i? Jawaban dari pertanyaan tersebut mungkin bisa diperoleh dari pendekatan studi identitas, maksud saya adalah jawaban atas pertanyaan di atas dapat terlacak dengan mengkaji kehidupan masing-masing sarjana tersebut dengan menitik beratkan pada pendekatan geo-sosio-kultur masing-msing. Imam Nawawi sebagaimana kita ketahui lahir di Nawa sebuah desa kecil di wilayah Hauran dan pad usia 19 tahun ia pindah ke Damaskus, sementra itu imam rafi’i lahir dan dibesarkan di Qazwayn sebuah kota di wilayah utara iran. Ada asumsi kuat bahwasannya dinamika corak pemikiran Iran lebih rasional dibandingkan dengan yang berekembang di Damaskus. Sedangkan di Damaskus sendiri yang lebih dominan adalah kajian hadisnya.
Tak pelak, imbas dari pola pemikiran di atas maka secara tidak langsung membangun sistem keilmuan yang bersifat “hadist oriented” yakni corak pemikiran yang bersifat penukilan atau transmisi sebagaiman saya sebutkan di atas. Bagi penganut sistem ini, keilmuan hanya dapat dipandang sah dan kukuh jika diberlakukan secara transmitif. Hal itu juga mungkin bisa deperkokoh lagi dengan metode hafalan yang selama ini tak pernah absen barang sejenak dari pesantren manapun. Karena sebagimana dikatakan Burhanul Islam Al-Zarnuji bahwa ilmu adalah sesuatu yang diperoleh dari mulut seorang guru, karena mereka menghafal apa yang terbaik dari yag mereka dengar dan peroleh serta menyapaikan yang terbaik dari yang mereka hafal.
Di sini dapat diakui bahwa secara normatif mendidik dengan cara seperti itu sangat baik sebagai pijakan dan basis dalam rangka penguasaan materi secara akurat nan otentik. Tapi pada tataran praksisinya sangat disayangkan bahwa praktik hafalan tersebut hampir menafikan aspek-aspek pemahaman kognitif. Oleh kerena itu, di sini jelas diperlukannya balancing antara aspek afektif yang berupa hafalan dan kognitif yang berarti peemahaman rasional dalam pembelajarn kitab kuning juga terlebih lagi jika hal itu mampu dikembangan menuju aspek psikomotorik santri.
Hal itulah yang menjadi catatan-catatan kegelisahan intelektual dan juga –kalau tidak keberatan—otokritik yang saya rasakan selama ini, dan hal itu tidak lebih hanya merupakan bagian wajar dan terkecil dari kegelisahan akademik yang selalu menimpa perjalanan intelektual-keilmuan seseorang. Dan hal itu juga terjadi pada dinamika cakrawala pemikiran saya selama ini. Oleh karena itu mungkin sangat tidak berlebihan jika saya memberanikan diri mengutip apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahidnya: Ra’yuna Shahih Wa Lakin Yahtamilul Khatta’ Wara’yukum Khatta’ Walakin Yahtamilus Shahih sebuah jargon yang menggabarkan akan betapa indahnya perbedaan pendapat, serta meminjam epilognya mendiang Gus Dur bahwa apa yang saya ungkapkan tidaklah lebih dari proses membuang dan melestarikan yang lumrah dalam setiap sejarah, bukan?. Wallahu a’lam.
Fariz Alniezar (Alumnus PP. Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang
Esais dan Peneliti di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta)
Artikel Ini Pernah dimuat di http://jombang.nu.or.id, 15/06/12
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H