Mohon tunggu...
Fariza Ibrahim
Fariza Ibrahim Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Geofisika, Universitas Indonesia. Peduli terhadap isu energi terbarukan dan lingkungan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Tsunami Selat Sunda: Diramalkan oleh Ahli dan Terjadi

27 Desember 2018   19:04 Diperbarui: 27 Desember 2018   19:31 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gelombang Tsunami menghantam area pantai Provinsi Banten dan Lampung pada Sabtu, 22 Desember 2018 malam pukul 21.27 WIB. Khususnya wilayah Anyer, Serang, dan Lampung Selatan terdampak cukup parah, terlebih pada Kabupaten Pandeglang yang merupakan daerah yang paling parah terdampak Tsunami Selat Sunda ini. 

Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Selasa, 25 Desember 2018 terdapat total 429 korban jiwa meninggal dunia dan 154 jiwa orang hilang. 

Sutopo Purwo Nugroho, selaku Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, juga menyatakan bahwa selain korban jiwa terdapat 1485 korban luka-luka, serta 16082 orang mengungsi. Jumlah korban yang tercatat ini kemungkinan besar akan bertambah mengingat sejumlah titik terdampak belum dapat terjangkau oleh tim gabungan Search and Rescue (SAR).

Tsunami merupakan perpindahan badan air yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba. Tsunami dapat disebabkan pula oleh beberapa hal diantaranya gempa bumi, aktvitas gunungapi di bawah laut, atau sebab yang tak umum lainnya adalah longsoran di dasar laut dan atau di pantai. Tsunami yang terjadi pada Selat Sunda diduga kuat diakibatkan oleh gempa vulkanik dari letusan Gunung Anak Krakatau, atau dapat disebut pula sebagai Tsunami vulkanik. Tecatat, Gunung Anak Krakatau Meletus sebanyak 423 kali, hal tersebut dapat mengakibatkan runtuhan kaladera atau peluruhan piroklastik dari gunungapi yang akan mempengaruhi permukaan air laut dan menimbulkan gelombang Tsunami.

Namun, tidak banyak yang tahu jika keterjadian Tsunami Selat Sunda ini sudah diprediksi oleh beberapa ahli pada kurun tahun yang lalu. 

Tahun 2008, pada penelitian yang dilakukan oleh Yudhicara dan K. Budiono yang berjudul "Tsunamigenik di Selat Sunda: Kajian terhadap Katalog Tsunami Soloviev" memaparkan tentang potensi keterjadian Tsunami di Selat Sunda yang tidak hanya dapat disebabkan oleh aktivitas vulkanik tetapi juga dapat disebabkan akibat longsoran di dasar laut atau di daerah pantai yang dipublikasikan melalu Jurnal Geologi Indonesia. 

Selain itu di tahun 2012, Thomas Gichetti dkk juga telah membuat permodelan tsunami akibat dinding Gunung Anak Krakatau pada penelitiannya yang berjudul "Tsunami Hazard Related to Flank Collapse of Anak Krakatau Volcano, Sunda Strait, Indonesia" yang diterbitkan oleh Geological Society di London, Inggris. 

Sekian hal tersebut seharusnya menjadi sorotan bagi Pemerintah berwenang untuk memahami potensi bencana dengan kerugiannya serta menjadi lebih peduli terhadap kebijakan penanggulangan atau mitigasi kebencanaan di daerah terkait.

Mengenai Prediksi Keterjadian Tsunami Selat Sunda

Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, para geolog sudah memprediksi keterjadian dari Tsunami di Selat Sunda ini. Yudhicara dan K. Budiono telah menjabarkan apa yang disebut sebagai tsunamigenik di Selat Sunda. 

Tsunamigenik adalah suatu kejadian di alam yang berpotensi menimbulkan tsunami. Kejadian tersebut dapat berupa terganggunya air laut oleh aktivitas gunungapi, gempa bumi tektonik, longsoran pantai dan bawah laut, serta sebab lainnya. Yudhicara dan K. Budiono menyebutkan bahwa setidaknya ada empat tsunamigenik di Selat Sunda, antara lain potensi tsunami akibar gempa bumi, gunungapi, longsoran bawah laut serta longsoran di daerah pantai.

Tsunamigenik yang diakibatkan oleh gempa bumi pada Selat Sunda umumnya berasosiasi dengan zona subduksi lambat yang biasanya menghasilkan gempa bumi dengan mekanisme sesar naik besar (megathrust earthquake). Dalam katalog tsunami juga disebutkan bahwa gempa bumi tektonik yang menyebabkan terjadinya tsunami di Selat Sunda pernah terjadi pada tahun 1757, dengan magnitudo Ms7.5 serta ketinggian berkisar 1 m. 

Kesenjangan aktivitas gempa besar atau yang disebutkan dengan seismic gap di daerah ini sudah mencapai sekitar 251 tahun, yang artinya gempa bumi tektonik di laut selatan Selat Sunda sangat memungkinkan untuk terjadi. Sementara kita tahu bahwa gempa bumi berkekuatan lebih dari 7 Skala Richter pada kedalaman dangkal merupakan suatu potensi timbulnya tsunami

Selain, tsunamigenik gempa bumi tektonik, tsunami di Selat Sunda juga memungkinkan disebabkan akibat dua jenis longsoran. Pertama, longsoran bawah laut yang sangat dipengaruhi perbedaan kedalam dasar laut. 

Dasar laut Selat Sunda merupakan salah satu daerah dasar laut yang labil. Ketika terjadi guncangan akibat gempa apapun itu penyebabnya, maka akan sangat berpotensi untuk terjadi longsoran bawah laut. Kedua, yaitu potensi tsunami akibat longsoran di pantai. Potensi ini dapat dilihat pada Teluk Semangko dan Teluk Lampung, yang relief dasar lautnya didominasi oleh perbukitan dari yang landai hingga curam. Ketika longsor, maka kolom air laut akan terganggu dan menimbulkan tsunami meski dalam skala kecil dan regional.

Dalam makalah ilmiahnya, Thomas Giachetti juga memodelkan tsunami akibat aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau yaitu yang disebabkan oleh runtuhan dinding gunung. Pada pemodelannya digambarkan bahwa jika setidaknya apabila terdapat runtuhan sebesar 0.28 km3, maka dapat memicu gelombang tsunami awal setinggi 43 meter. 

Gelombang tsunami tersebut akan menyebar secara radial dengan kecepatan hingga 110 km/jam dan akan mencapai pantai barat Jawa dalam kurun waktu 35 sampai 45 menit setelah terjadi runtuhan. Beberapa wilayah di daerah pantai barat Jawa akan terkena dampak gelombang tsunami dengan ketinggian maksimum sekitar 1.5 meter.

Menakar Kembali Urgensi Mitigasi Bencana Alam di Indonesia

Gelombang tsunami seperti pada kasus di Selat Sunda, tidak diawali oleh aktivitas gempa tektonik alih-alih dipicu oleh aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau. Sampai sejauh ini instansi pemerintahan yang terkait belum dapat memberikan analisis dengan pasti untuk mendeteksi gelombang tsunami. 

Sejumlah instansi sepakat bahwa sistem peringatan dini tsunami saat ini masih tergolong lemah. Hal ini menjadi semacam bukti bahwa mitigasi bencana di Indonesia masih lemah dan belum menjadi perhatian bagi pemerintah.

Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Pembangunan fisik dalam mitigasi bencana, dalam kasus ini, dapat dalam bentuk penerapan sistem peringatan dini tsunami. 

Di Indonesia sendiri telah dikembangkan sistem peringatan dini tsunami (InaTEWS) yang telah dioperasikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) berpusat di Jakarta. Sistem ini memungkinkan BMKG untuk mengirimkan peringatan tsunami jika terjadi gempa yang berpotensi mengakibatkan tsunami. 

Namun, pada kenyataannya sistem peringatan dini tidak beroperasi dengan baik. Buoy atau pelampung alat pendeteksi tinggi gelombang laut aktual, sejak tahun 2012, sebanyak 22 unit tidak ada yang beroperasi lagi. 

Hal tersebut terjadi dikarenakan tidak adanya biaya pemeliharaan sehingga buoy menjadi rusak dan bahkan beberapa ditemukan menghilang. Walaupun demikian, sistem peringatan dini masih dapat bisa dilakukan, namun dengan tidak beroperasinya buoy akan mengurangi kecepatan dan akurasi data untuk dianalisis menjadi suatu kesimpulan untuk disebarkannya sinyal peringatan

Patut pula menjadi sorotan adalah anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk mitigasi bencana. Dengan bencana alam yang sangat mempengaruhi kerugian ekonomi, pemerintah malah memangkas anggaran yang sebelumnya diusulkan oleh BMKG sebesar Rp 2,9 Triliun hanya disetujui menjadi Rp 1,7 T, dalam rapat kerja bersama Komisi V DPR RI. 

Menjadi suatu yang kontradiktif terhadap pernyataan Presiden Jokowi yang pada tiap kesempatannya dalam kunjungan ke daerah terdampak bencana "Ke depan saya sudah perintahkan BMKG untuk membeli alat deteksi, early warning system yang bisa memberikan  peringatan secara dini ke masyarakat".

Hal tersebut dapat menjadi suatu bahan renungan atau refleksi bagi pemerintah untuk dapat lebih memperhatikan upaya mitigasi bencana, mengingat secara ilmiah sudah terbukti bahwa Indonesia termasuk salah satu negara dengan risiko bencana alam yang tinggi. Menjadi sesuatu yang urgentif untuk mengupayakan perbaikan infrastruktur mitigasi kebencanaan alam di Indonesia.

Menilik Penerapan Science Based Policy di Indonesia

Setelah sekian penelitian yang menyimpukan potensi besar tsunami pada Selat Sunda yang tidak digubris oleh pemerintah melalui instansi-instansinya, juga menjadi suatu pembuktian bahwa science based policy khusunya dalam bidang kebencanaan belum diterapkan di Indonesia. 

Belum lagi pada kasus hasil kajian lainnya yang dilakukan oleh Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) yang menyebutkan prediksi tsunami setinggi 57 meter yang akan menghujam Pandeglang dan sekitarnya dalam penelitiannya yang dipaparkan saat Focus Group Discussion 'Sumber-sumber Gempabumi dan Potensi Tsunami di Jawa Bagian Barat' yang diselenggarakan oleh BMKG pada April 2018 lalu. 

Dengan kajian tersebut Polda Banten merencanakan memproses secara hukum dan memanggil peneliti terkait untuk dimintai keterangan dengan dalih 'meresahkan dan menghambat investasi'.

Jelas dimandatkan pada UU No. 12 Tentang Pendidikan Tinggi bahwasanya hak atas kebebasan akademik dijamin oleh negara. Peneliti memiliki kebebasan untuk melakukan kegiatan ilmiah apapun asal dapat dipertanggungjawabkan. 

Menurut ahli pidana Syaiful Bakhri juga menyebutkan bahwa penelitian tentang potensi tsunami 57 meter tersebut juga tidak dapat dipidanakan, hal tersebut dikarenakan oleh adanya hak atas kebebasan akademik yang dimiliki oleh seorang peniliti dalam melakukan riset. 

Alih-alih mendukung hasil riset untuk dijadikan referensi dalam perumusan kebijakan, para penegak hukum malah ingin mendiskreditkan penelitian yang seakan-akan dianggap menakut-nakuti iklim investasi.

Di negara maju seperti Jepang justru pembangunan ekonomi diintegerasikan oleh mitigasi bencana. Pemerintah Jepang memasarkan potensi ekonomi dengan juga menyatukan analisisnya terhadap keamanan dan tindakan preventif yang dapat mereka lakukan sebelum terjadinya bencana, sehingga akan meminimalisir kerugian dampak bencana. Hal tersebut lah juga menjadi renungan bagi pemerintah kita dalam merancang pembangunan ekonomi yang lebih integratif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun