Mohon tunggu...
Fariz Rifqi Hasbi
Fariz Rifqi Hasbi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Fakultas Hukum di- Universitas Islam Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Relevansi Pancasila Dengan Piagam Madinah

7 Februari 2014   03:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:05 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia merupakan Negara yang terbilang unik, karena memiliki keadaan sosial kultural yang majemuk, mulai dari kultur masyarakat, suku/etnis dan agama yang beragam. Berangkat dari hal ini Indonesia memerlukan rumusan dasar pemersatu bangsa sebagai pandangan berfikir, tujuan dan metode harmosisasi pluralitas yang ada guna mempersatukan bangsa yang majemuk menuju kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan.

Pada masa pra-kemerdekaan seluruh bangsa Indonesia—tanpa terkecuali melakukan perlawanan terhadap penjajah yang menduduki Negeri ini, yang berambisi menguasai tanah air Indonesia yang kaya akan sumber daya alam. Semua masyarakat yang beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha dan yang bersuku Jawa, Sunda, Betawi, Batak, Padang dan lain-lain bersatu bahu-membahu untuk mengusir penjajah dari Indonesia.

Dalam perjuangan mengusir penjajah—tidak bisa dipungkiri bahwa banyak masyarakat yang tewas terbunuh, diculik, dianiaya, diperkosa dan sebagainya. Bahkan tidak hanya serangan fisik, serangan non fisik juga dialami masyarakat Indonesia, seperti penanaman ideology barat yang dilakukan dengan cara membuka lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, melakukan penetrasi budaya yang jauh dari ke-Indonesiaan  dengan hukum-hukum dan tradisi ke-penjajahan, dan masih banyak serangan non fisik yang mungkin tidak dijelaskan secara panjang lebar disini. Hal ini yang paling berbahaya ketimbang serangan fisik, karena dampak daripada serangan itu dapat dirasakan hingga masa kontemporer dan mungkin meregenerasi secara terus menerus.

Memasuki tanggal 29 April 1945, Indonesia membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai upaya persiapan untuk memploklamirkan Indonesia sebagai Negara yang merdeka. Badan ini merupakan realisasi Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.

Lalu, sebagai tindak lanjut dari pembentukan BPUPKI, dibentuklah panitia Sembilan untuk merumuskan Piagam Jakarta yang berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fasisme, serta memulai dasar pembentukan Negara Republik Indonesia sebagai dasar pemersatu masyarakat yang majemuk, metode harmosisasi pluralitas, tujuan dan identitas Negara yang terdiri Sembilan tokoh nasional yaitu Ir. SoekarnoMohammad Hatta, Sir A.A. MaramisAbikusno TjokrosujosoAbdul Kahar MuzakirH. Agus Salim, Sir Achmad SubardjoWahid Hasyim, dan Sir Muhammad Yamin. Mereka (red ; Panitia Sembilan) dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 dan persidangan pertama dilakukan keesokan harinya sampai dengan 1 Juni 1945.

Pada sidang perumusan naskah Piagam Jakarta, terjadi perdebatan panjang antar umat beragama sebagai reaksi dari poin pertama pancasila yang mulanya berbunyi Ketoehanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeloek2-nja. Perdebatan itu disebabkan karena perasaan tidak diperhitungkannya umat beragama non islam yang ikut berjuang untuk mengusir penjajah, padahal telah diketahui bahwa mereka juga meneteskan darah dan keringat di medan pertempuran.

Sebagai reaksi dari perdebatan tersebut, salahsatu anggota panitia Sembilan; A. A Maramis yang notabene beragama Kristen sangat keberatan dengan rumusan poin pertama pancasila dan  memutuskan bahwa apabila poin pertama pancasila yang berbunyi Ketoehanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeloek2-nja tidak direvisi atau diganti, maka A. A Maramis dan pejuang-pejuang non islam akan memisahkan diri dari Indonesia. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi konflik besar antar agama.

Lalu Moh. Hatta, Wahid Hasyim dan tokoh lainnya berkonsultasi oleh totok-tokoh islam, yang diantaranya; Teuku Muhammad HassanKasman SingodimedjoKi Bagus Hadikusumo, KH . Hasyjim Asyari dan lain-lain.  Dan hasilnya panitia Sembilan memutuskan untuk mengganti poin pertama pancasila dengan bunyi “Ketoehanan jang maha esa”.

Melihat peristiwa sejarah seperti demikian kiranya mustahil untuk mendirikan suatu Negara dengan syari’at islam sebagai bagian dari dasar Negara untuk diterapkan ditengah-tengah masyrakatnya plural atau majemuk seperti Indonesia.

Pernyataan ini bukanlah pernyataan pesimis atau yang sering disebut “mengalah sebelum berperang”. Namun ada suatu kenyataan sosial yang tidak bisa dihindari dan dipaksakan seperti budak belian untuk menuruti apa yang diperintahkan oleh majikannya, yaitu suatu keadaan sosial dimana masyarakatnya terdiri dari berbagai pemeluk agama, ras/suku yang berbeda.

Kenyataan sosial ini sangat sensitive dan rawan terjadi gesekan antar kelompok masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa fenomena konflik horizontal dari hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Yayasan Denny JA dalam rilis survei bertajuk ‘Dicari Capres 2014 yang Melindungi Keberagaman’;


  1. Konflik Maluku dan Maluku Utara. Akibat kerusuhan ini, sekitar 8 ribu sampai 9 ribu korban meninggal dunia dan 700.000 warga lainnya mengungsi. Kasus ini juga mengakibatkan kerugian materi berupa 29.000 rumah hangus terbakar, 7.046 rumah rusak, serta 45 masjid, 57 gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintah, dan empat bank hancur. Dengan lama konflik mencapai empat tahun, yakni dari 1999 sampai 2002, konflik ini mencakup luasan sampai tingkat provinsi. Konflik ini juga menjadi pemberitaan dengan frekuensi sebanyak 147 ribu item di Google Search lewat kata kunci “kerusuhan Ambon”.
  2. Konflik Dayak versus Madura. Dengan lama waktu konflik mencapai 10 hari pada 2001, konflik ini menelan 469 korban jiwa sementara 108 ribu warga mengungsi. Kerugian materi akibat konflik ini terdiri atas 192 rumah hangus terbakar dan 748 rumah rusak serta 16 mobil dan 43 sepeda motor hancur. Cakupan konflik terjadi dari Kota Sampit ibukota Kotawaringin Timur melebar ke Kota Palangkaraya, Kuala Kapuas, dan Pangkalanbun. Dari segi pemberitaan, konflik ini memiliki 41 ribu  item dengan kata kunci “Kerusuhan Sampit” di Google Search.
  3. Kasus Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Boleh dibilang ini merupakan kasus kekerasan terburuk yang pernah terjadi. Tercatat 1.217 korban meninggal dunia, 85 wanita diperkosa, dan 70 ribu  warga mengungsi. Dengan rentang waktu konflik selama tiga hari, dari 13 sampai 15 Mei 1998, cakupan konflik mencapai se-Provinsi DKI Jakarta. Total kerugian akibat kerusuhan adalah sekitar Rp2,5 triliun. Frekuensi pemberitaan di Google Search dengan kata kunci “Kerusuhan 13-15 Mei 1998″ sebanyak 24.700 item berita.
  4. Kasus Ahmadiyah Lombok atau Transito Mataram. Kasus ini menelan 9 korban jiwa, 8 luka-luka, 9 gangguan jiwa, 379 terusir, 9 dipaksa cerai, 3 keguguran, 61 putus sekolah, 45 dipersulit membuat KTP, dan 322 dipaksa keluar dari Ahmadiyah. Lama konflik berlangsung hingga 7 kali, dimana penyerangan yang masif terjadi antara 1998 dan 2006. Cakupan konflik mencapai empat wilayah provinsi, yakni Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Kota Mataram. Kerugian materi akibat kasus ini diantaranya, 11 tempat ibadah dan 114 rumah rusak, dengan 64,14 hektar tanah terlantar, 25 tempat usaha rusak, dan ratusan harta benda rusak dan dijarah. Melalui kata kunci “Penyerangan Ahmadiyah Lombok” di Google Search, konflik ini mempunyai 30.800 item pemberitaan.
  5. Konflik Lampung Selatan. Konflik ini menewaskan 14 orang, belasan lainnya luka parah, dan 1.700 warga mengungsi. Cakupan luas konflik meliputi dua kecamatan, yakni Kalianda dan Way Panji dengan lama konflik mencapai tiga hari, dari 27 hingga 29 Oktober 2012. Akibat konflik ini, total kerugian mencapai Rp24,88 miliar, 532 rumah rusak dan dibakar. Dengan kata kunci “Bentrok Lampung Selatan 28 Oktober 2012″, konflik ini memiliki 80.700 itempemberitaan di Google Search.

Tidak terbatas dengan konflik diatas, dalam surat kabar harian kompas terbitan jumat, 6 Desember 2013 | 17:31 WIB Mendagri Gamawan Fauzi menuturkan bahwa sepanjang tahun 2013 kemarin telah terjadi 85 kasus/konflik horizontal.

Begitulah kira-kira gambaran umum mengenai sensitifitas pluralitas masyarakat yang ada di Indonesia. Bahkan kalau ditelisik lebih jauh, jumlah konflik horizontal yang disinggung diatas hanya sebagian kecil dari besarnya kuantitas konflik yang terjadi di Indonesia.

Bisa dibayangkan apabila kita memaksakan egoisme pemeluk agama Islam untuk menerapkan syari’at Islamnya sebagai bagian dari dasar Negara, maka konflik yang jauh lebih besar mungkin saja terjadi, mengingat sidang perumusan pancasila yang terjadi sangat alot dan rentan terjadi pertentangan. Dari uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pancasila adalah harga mati.

Pernyataan “Pancasila Harga Mati” ini bukan sekedar pernyataan yang tidak berdasar, melainkan ada landasan yang mendukung. Adapun landasan daripada penerapan pancasila telah terilhami oleh Piagam Madinah.

Piagam Madinah adalah konstitusi pertama yang lahir dari peradaban Islam yang diakui sebagai bentuk perjanjian dan kesepakatan bersama untuk membangun masyarakat Madinah yang plural, adil, dan berkeadaban.  Menurut sejarahwan dan sosiolog ternama di Barat Robert N. Bellah, Piagam Madinah ini merupakan konstitusi termodern di zamannya yang mengatur keharmonisan dari masyarakat Madinah yang plural atau majemuk demi kemaslahatan bersama.

Piagam Madinah yang merupakan konstitusi pertama yang paling modern, yang menjadi rujukan konstitusi negara yang ada di seluruh dunia tentu tak lepas dari tokoh besar yang membuatnya. Tokoh besar yang dimaksud adalah baginda Rasullullah Muhammad SAW, panutan dan suri tauladan bagi umat Islam.

Adapun latar belakang pembuatan Piagam Madinah adalah reaksi dari kenyataan sosial yang terdiri dari berbagai suku dan agama yaitu; agama Islam, agama yahudi, dan penyembah berhala. Dalam mendirikan Negara Madinah, Rasulullah SAW tidak menggunakan Al-Qur’an sebagai dasar Negara. Akan tetapi, menggunakan Piagam Madinah ini sebagai dasar Negara, dimana dalam Piagam tersebut berisi saling toleransi, menghargai dan menghormati antar pemeluk agama dan antar suku demi menjaga keutuhan dan persatuan Negara Madinah.

Jika dilihat keadaan sosial yang ada di Madinah, ada kesamaan yang prinsipil dengan keadaan sosial yang ada di Indonesia. Sama-sama pluralis, terdiri dari berbagai suku dan agama yang bermacam-macam. Sehingga patut kiranya apabila dalam bernegara yang masyarakatnya pluralis meniru apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW di Negara Madinah, yaitu membuat dasar Negara yang adil, yang mampu mengakomodir dan membawa kemaslahatan untuk semua pihak tanpa diskriminasi.

Walaupun pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika secara eksplisit tidak sama dengan Piagam Madinah, namun muatan materi yang terkandung di dalamnya adalah sama. Jadi, penerapan dasar negara yang serupa dengan Piagam Madinah merupakan Sunnah Rasul, karena sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW kekasih Allah.

Dari uraian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa panerapan Pancasila sebagai ideologi Negara, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar, tujuan dan identitas Negara, dan semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai pemersatu bangsa adalah harga mati ! disamping sebagai Sunnah Rasul, juga sudah sesuai dengan syari’at Islam dan dapat diterima oleh semua pihak antar agama dan suku.

Sedikit mengutip dari pernyataan ketua PB NU, KH Aqil Siraj “Al-Qur’an sebagai Kalamullah terlalu suci dan sakral untuk dijadikan sebagai dasar sebuah Negara, karena jika akhlaq Negara bobrok maka secara tidak langsung akan menghina Al-Qur’an dan Agama Islam itu sendiri. Cukuplah Al-Qur’an di hati agar terjaga kesuciannya.”

Reputasi Islam akan hancur ketika sebuah Negara yang berlandaskan Syari’at tidak mampu mengakomodir semua pihak. Terlebih jika Negara yang bersangkutan Negara yang terancam kegagalan. Lalu semua orang akan beranggapan bahwa agama Islam adalah agama yang patut dipertanyakan karena aturan yang diterapkan tidak membawa kepada kesejahteraan, keadilan, dan keharmonisan masyarakatnya. Padahal bukan aturan Islam-lah yang salah, akan tetapi manusianya yang berkepribadian tidak baik atau tidak bermoral, sehingga aturan secaggih apapun jika moral bangsa rusak, maka tidak akan efektif dalam menjawab semua permasalahan.

Oleh sebab itu, menjadi penting apabila Al-Qur’an berada dalam hati manusianya, sehingga akhlak atau moral menjadi baik. Maka setiap individu berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan, saling menasehati dalam kebaikan dan timbul keharmonisan. Sehingga, aturan seburuk apapun, apabila manusianya baik, berakhlak atau bermoral, maka akan membawa kepada kemaslahatan semua pihak. Kira-kira seperti itu yang ditangkap dari pernyataan ketua PB NU Said Aqil Siraj.

Jika ada pihak yang bertanya-tanya, “kenapa Negara yang sudah menerapkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Bhineka Tunggal Ika sebagai entitas dari Sunnah Rasul tetap carut-marut ?” Maka, jangan landasan atau dasar Negaranya yang dihakimi, tapi kinerja penyelenggara Negaranya dan moral masyarakatnya yang patut dipertanyakan. Mari introspeksi, untuk mengoreksi dan memperbaiki prilaku kearah yang lebih baik.

Wassalam..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun