Indonesia berada di posisi sangat strategis dalam lingkup kawasan Asia Tenggara. Nilai strategis Indonesia selain sebagai negara yang berdaulat, juga disebabkan oleh letak geografisnya. Sebagai sebuah negara kepulauan yang berada diantara dua benua—Benua Asia serta Benua Australia—dan diantara dua samudra—Samudra Hindia beserta Samudra Pasifik—menjadikan Indonesia juga sebagai salah satu jalur strategis perdagangan dunia.
Untuk itu Indonesia dituntut memiliki kekuatan berupa alutsista TNI yang memadai sebagai instrumen utama menjaga menjaga kedaulatan teritorial serta mengamankan kepentingan nasional dari ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Dinamika hubungan antar negara dalam mengamankan kepentingan nasionalnya tidak jarang berbenturan dengan kepentingan nasional negara lainnya. Ketegangan tersebut terkadang dapat diselesaikan secara damai melalui jalur diplomatik maupun dengan jalur militer. Situasi dan dinamika hubungan antar negara berbasis pada kepentingan nasional masing-masing melahirkan situasi mengancam dan diancam. Untuk memperkuat posisi tawar secara diplomatik maka kekuatan militer, dalam hal modernisasi dan kemandirian alutsista TNI, adalah satu faktor penunjang sehingga dapat memberikan detterence effect (efek penggentar) kepada negara-negara lain.
Tanpa usaha mengurangi ketergantungan pasokan alutsista TNI dari negara lain kebesaran dan harga diri bangsa Indonesia dihadapan bangsa-bangsa lain khususnya di kawasan akan mudah diremehkan dan dipandang sebelah mata dalam berunding melaui jalur diplomatik maupun konfrontasi terbuka melalui operasi militer.
Akumulasi dampak dari terabaikannya pembangunan industri pertahanan indonesia kian terasa disaat Indonesia mendapat sanksi embargo militer dari Amerika Serikat dan sekutunya. Masih tersimpan dalam ingatan ketika Amerika Serikat dan sekutunya menjatuhkan embargo militer terhadap Indonesia. Embargo ini didasarkan tuduhan Amerika Serikat dan sekutunya terhadap Indonesia yang menurut mereka telah melakukan pelanggaran HAM di Timor Timur pada tahun 1999. Embargo ini mengakibatkan Indonesia tidak bisa membeli peralatan militer termasuk suku cadangnya sehingga menyebabkan peralatan militer Indonesia terutama alutsista stategis seperti F-16, F-5, Hercules C-130 dan Hawk series mengalami penurunan kesiapan tempur hingga di bawah 50%.
Embargo ini menyebabkan Alutsista TNI, khususnya pada matra udara banyak yang harus di grounded[1] sementara karena tidak memiliki suku cadang untuk mendukung operasinya. Sebagai contoh sebagian pesawat F-16 milik TNI AU harus rela di kanibalisasi untuk dijadikan spare part bagi pesawat F-16 lainnya. Dari 10 pesawat F-16 Indonesia kala itu, tidak lebih dari 4 pesawat saja yang bisa diterbangkan. Selebihnya di grounded. Bisa dibayangkan bagaimana mungkin 4 pesawat F-16 bisa menjaga kedaulatan Republik Indonesia yang luasnya hampir sama dengan luas benua Eropa. Sungguh kondisi yang memprihatinkan.[2]
Kondisi tersebut puncaknya menimbulkan sejumlah permasalahan yang serius. Diantaranya ketika Malaysia mengambil kesempatan ditengah keterpurukan militer Indonesia. Kita tahu, perselisihan Sipadan dan Ligitan juga berlangsung di tahun 2002 sewaktu embargo militer sedang dialami Indonesia. Karena kelemahan militer Indonesia ketika itu, Indonesia akhrinya kalah dari Malaysia dan harus merelakan Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia. Lemahnya militer Indonesia ketika itu mengurangi daya tawar Indonesia dan itu benar-benar di manfaatkan oleh Malaysia. Kemudian saat tragedi tsunami di Aceh tahun 2004. Saat itu TNI mengalami kesulitan dalam hal sarana transportasi pengangkut akibat pesawat Hercules C-130 yang berperan sebagai sarana angkut utama mengalami grounded akibat kekurangan pasokan suku cadang.
Pengalaman pada fase-fase sulit saat embargo militer Amerika Serikat dan sekutunya berlaku mulai dari tahun 1999 – 2005 harus dijadikan sebagai pelajaran berharga bagi pemerintah Indonesia khususnya bagi Kementerian Pertahanan selaku institusi yang bertanggungjawab atas masalah pertahanan. Rencana strategis jangka panjang dalam modernisasi alutsista dan mengurangi ketergantungannya pada negara lain harus segera disusun secara sistematis, komprehensif dan terprogram sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan.
Modernisasi alutsista TNI tanpa adanya kemandirian dalam pengadaan, perawatan dan peremajaan hanya akan menimbulkan ketergantungan pada negara lain. Untuk mengurangi ketergantungan tersebut mutlak didukung oleh industri pertahanan nasional yang tangguh. Industri pertahanan dikategorikan kedalam industri strategis.
Kekuatan pertahanan negara-negara di dunia saat ini tidak sekadar didukung oleh manpower atau personel militer aktif ysng besar secara kuantitas, tapi juga oleh ketersediaan teknologi canggih. Industri pertahanan suatu bangsa sangat bertautan erat dengan kemampuan suatu negara terutama dalam kekuatan ekonomi dan penguasaan teknologi.
Merujuk kepada hasil riset lembaga ekonomi dunia, semisal International Monetary Fund (IMF), Standard Chartered Research and Analysis, lembaga kajian VOX (tentang Global Growth Generators) dan Jim O’Neill, ekonom Goldman Sachs, yang menunjukkan Indonesia akan menjadi raksasa ekonomi baru bersama negara lain semisal negara-negara yang kerap disebut dengan BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan) dalam waktu beberapa tahun mendatang, dengan diikuti peningkatan anggaran pertahanan, maka sudah sepantasnya Indonesia mempunyai potensi besar membangun industri pertahanan yang mandiri.