Mohon tunggu...
Fariz Maulana Akbar
Fariz Maulana Akbar Mohon Tunggu... -

Apakah dengan menjadi Islam saya langsung menjadi demokratis? dan apakah sebaliknya Anda yang demokrat otomatis menjadi Islam?

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Ala Hatta Rajasa

4 Januari 2013   07:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:31 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Unjuk rasa adalah suatu keniscayaan dalam sebuah sistem demokrasi. Unjuk rasa, dalam konteks negara demokrasi, merupakan sesuatu yang lazim. Unjuk rasa itu adalah saluran nyata aspirasi dan wujud dari kegerahan melihat keadaan yang tampak abnormal. Karena itu, demonstrasi dapat diletakkan dalam konteks kritik. Kritik terhadap keadaan, sekaligus harapan bahwa dengan adanya demonstrasi keadaan akan berubah, meski tidak selamanya harapan demikian dapat diraih.

Sejatinya unjuk rasa itu adalah ekspresi dari sebuah kebebasan yang apabila memang benar mempunyai tujuan yang baik, yaitu murni memperjuang hak rakyat, menuntut keadilan dan membela kebenaran, maka harus pula disampaikan dengan cara yang baik, elegan, sopan dan santun. Kebebasan berekspresi itu harus berlandaskan pada budaya bangsa yang beretika luhur dan disandingkan pula pada peraturan hukum yang berlaku.

Unjuk rasa bukan ajang untuk mengetahui siapa yang paling kuat dan siapa yang paling berkuasa. Unjuk rasa suka atau tidak suka adalah bagian dari demokrasi modern. Demokrasi seharusnya masih dapat diukur dengan nilai-nilai demokrasi yang semestinya. Nilai-nilai demokrasi sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang di perlukan untuk mengembangkan pemerintahan demokratis menjadi lebih baik. Tegaknya demokrasi sebagai sebuah tata kehidupan sosial dan sistem politik sangat tergantung kepada tegaknya unsur penopang demokrasi itu sendiri. Selain partisipasi masyarakat salah satunya adalah integritas kepemimpinan dari seorang pemimpin (pejabat negara). Seorang pemimpin dalam hal ini pejabat negara harus memiliki kemampuan yang memadai dalam mencerna dan menanggapi sebuah kritik. Dan peristiwa pengerahan preman oleh Hatta Rajasa untuk membubarkan aksi demonstrasi di depan kantor Kementerian Perekonomian mencerminkan buruk kualitas serta integritas Hatta Rajasa selaku pejabat negara.

Pada insiden di depan kantor Kementerian Perekonomian tersebut kepolisian Polres Jakarta Pusat sudah menjalankan tugasnya sesuai amanah undang-undang no 9 tahun 1998 tentang tata cara menyampaikan pendapat di muka umum. Polres Jakarta Pusat yang telah berhasil menciduk preman-preman bayaran yang telah pasang badan untuk membubarkan aksi unjuk rasa terhadap Hatta Rajasa patut diapresiasi karena telah berupaya, mengawal demokrasi. Selama ini Polisi kerap keliru memposisikan diri dalam mengawal sebuah aksi unjuk rasa, yang benar tugas mereka adalah mengamankan pengunjuk rasa bukan justru membubarkan atau bahkan memukuli pengunjuk rasa selama unjuk rasa yang digelar sesuai konsitusi dan peraturan yang berlaku.

Selaku pejabat negara Hatta Rajasa seharusnya mampu memahami makna kritikan melalui sebuah aksi unjuk rasa. Kritik-kritik yang sering terdengar pedas, sering tidak ditanggapi substansinya. Bahkan dibelokkan sebagai tuduhan yang ditujukan untuk menjatuhkan kedudukan seseorang. Kalau hal itu kebetulan menyangkut presiden atau menteri, maka membuat suasana menjadi seram. Betapa tidak seram kalau kalau kritik ditanggapi sebagai upaya menganggu kenyamanan dan yang dikritik merespon dengan mengerahkan preman-preman bayaran. Hal ini terlepas, bahwa dalam proses demokrasi, sepanjang sesuai dengan konstitusi yang ada.

Apakah Hatta Rajasa mempersepsikan ini sebagai kritik yang membangun atau sebagai upaya konspirasi menggembosi elektabilitasnya? Bagaimana pun juga unjuk rasa harus dihargai dan dipandang sebagai mekanisme yang konstiusional dan demokratis. Idealnya memang kritikan ditangkap substansinya bukan justru defensif, mencari pembenaran dan menyerang balik dengan preman-preman yang siap sedia pasang badan mengusir pengunjuk rasa. Bangsa kita agaknya belum pandai mengkritik dan belum pandai juga menerima kritik. Telinga para pejabat negara mungkin cepat merah, kalau menerima kritik, sehingga yang keluar adalah emosi terhadap yang mengkritik dan sebaliknya. Padahal esensi demokrasi adalah kepandaian mengkritik dan menerima kritik secara benar serta tidak bersifat represif.

Gaya Hatta Rajasa dalam menanggapi kritik pengunjuk rasa di kalangan aktivis mahasiswa di Jakarta memang dikenal kerap memobilisasi preman guna mengintimidasi dan membubarkan aksi unjuk rasa. Yang mengkhawatirkan sikap anti kritik dan arogansi ini ditunjukkan oleh seorang pejabat negara yang akan mencalonkan diri jadi presiden 2014 mendatang. Jika kelak pada 2014 mendatang kita memiliki presiden tipikal yang anti kritik dan arogan macam Hatta Rajasa bukan tidak mungkin tindakan represif terhadap pengunjuk rasa akan diberlakukan dan boleh jadi setiap unjuk rasa besar-besaran di istana akan menjadi semacam tragedi Tiananmen. (Tragedi Tiananmen adalah tindakan pembubaran pengunjuk rasa paling sadis dan brutal yang pernah terjadin di China, 1989).

Insiden di depan kantor Kementerian Perekonomian patut dijadikan pelajaran bagi seluruh pihak dalam membangun sebuah demokrasi yang sehat. Lebih-lebih ini melibatkan seorang yang akan berkepentingan menjadi capres. Setidaknya tulisan singkat ini dapat menjadi bahan perenungan dalam mengelola demokrasi yang lebih sehat ke depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun