Tinjauan Pustaka
Membangun institusi-institusi demokratik adalah prasyarat penting bagi peletakan system politik demokratis. Demikian pula kehadiranPilkada langsung yang akan dimulai Juni 2005 mendatang, merupakan proses politik strategis menuju kehidupan politik demokratis. Namun di atas semua itu yang tak kalah penting adalah upaya kita sampai benar-benar berhasil membangun etika dan moralitas politik baru khususnya bagi para elit dan tokoh politik yang sebangun dengan tuntutan system politik demokratik. Prasyarat penting yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan itu adalah pentingnya dibangun kebudayaan dan kepribadian politik demokratik yang menurut Gould (1998) meliputi elemen-elemen: inisiatif rasional politik, kesantunan politik, disposisi resiprositas toleransi, fleksibilitas dan open maindness, komitmen kejujuran dan akhirnya keterbukaan. Didalam ungkapan berbeda akan tetapi memiliki substansi yang sama, upaya yang dimaksud hanya mungkin dimenangkan diatas keberhasilan kita didalam membangun etika dan moralitas politik yang berkeadaban demokratik , untuk menyebut kesantunan, keadilan, toleransi sebagai elemen penting etika dan moralitas politik.
Di hadapan konteks sosiologis masyarakat Indonesia yang sangat kental paternalistik dan feodalisme, yang pertama-tama dan terutama untuk mewujudkan semua tuntutan di atas adalah menjadi tugas bagi para elit dan tokoh politik untuk kelemahan UU Pemda tersebut bisa jadi akan mendorong kembali munculnya "otoritarian" partai politik yang begitu powerfull di dalam rekruitmen calon pejabat publik (Gubernur, Bupati, dan Walikota). Kemungkinan adagium politik yang biasa didengar "membeli kucing dalam karung" akan sangat terbuka terjadi. . Kedua, kehadiran UU No.32 tentang Pemda tahun 2004 di satu sisi telah memberikan peluang baru bagi proses demokratisasi, khususnya di tingkat politik lokal, tetapi di sisi lain juga mengundang banyak masalah dengan banyaknya persoalan gramatikal perumusan berbagai pasal. Misalnya dalam pasal yang menunjukkan pada persoalan persyaratan. Perumusan pasal tersebut mempunyai kesalahan gramatikal yang menyebabkan tidak mempunyai makna yang jelas.
Memahami Demokrasi Indonesia tak bisa dilepaskan dari kenyataan sosio-kultural masyarakat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multikultural. Realitas masyarakat ini sudah ada bahkan jauh sebelum negara Republik Indonesia didirikan. Rupa kebudayaan yang beragam terwujud dalam budaya-budaya daerah. Di masa kolonial, pemerintah Hindia-Belanda turut melestarikan dan mengembangkan budaya daerah antara lain dengan mendirikan Java-Instituut, Batak Instituut, serta Bali Instituut. Di era kolonial, juga telah berlangsung 7 kali kongres kebudayaan (KK). Setelah Indonesia merdeka, terjadi revolusi nasional yang memunculkan ide tentang budaya nasional. Di era orde lama, keberagaman budaya, dalam demokrasi terpimpin, digunakan sebagai alat untuk tujuan revolusi. Sedangkan di era orde baru, budaya-budaya daerah, dalam demokrasi pancasila, diarahkan untuk mendukung program pembangunan. Serta, keberagaman budaya daerah berusaha untuk diintegrasikan demi menunjang integrasi/persatuan nasional. Kemudian di era reformasi, dalam iklim demokrasi liberal, individu dan atau komunitas budaya mendapatkan hak-hak kebudayaan, antara lain hak-hak tradisional, hukum adat serta tanah ulayat. Di tingkat daerah turut terwujud otonomi khusus seperti provinsi Aceh dan Papua Barat. Kesadaran akan kekayaan budaya dalam masyarakat multikultural turut mendorong lahirnya UU Pemajuan Kebudayaan. Dalam hal ini, kebudayaan dipandang sebagai modal bagi pemberdayaan masyarakat yang perlu untuk dilindungi, dimanfaatkan, dibina serta dikembangkan.
dibalik semua perdebatan teoretik tentang demokrasi, juga dibalik semua tuntunan serentak bagi demokratisasi negeri ini yang datang dari segenap penjuru, tampaknya tak cukup tersedia ruang luas bagi suatu kesadaran mandasar bahwa demokrasi sebenarnya adalah sebuah proses yang seharusnya berjalan sejak tingkat individual, dan bukan semata-mata sebuah proses besar kelembagaan yang kasat mata.
demokratik untuk membangun lembaga-lembaga demokrasi, juga karena ketiadaan dan makin tipisnya etika serta kesantunan politik yang dipertontonkan oleh elit-elit politik dalam melakukan kompetisi politik untuk memperjuangkan kepentingan politik masing-masing.
Dalam kondisi masa transisi yang demikian muncul keyakinan public bahwa satu kesalahan sangat serius telah terjadi di dalam pemerintahan dan masyarakat kita; bahwa semakin banyak elit dan tokoh politik bertindak hanya bagi kepentingan pribadi mereka sendiri, bukan bagi kepentingan rakyat yang mereka wakili. Meminjam ungkapan Nisbet, yang terjadi semakin transparan di hadapan mata public bahwa "seni memerintah" (the art of governing) semakin berkembang menjadi "seni untuk menipu"(the art of deceiving) rakyat di dalam skala yang makin besar. Inilah situasi dan realitas politik yang tengah kita hadapi saat ini, suatu realitas yang bukan tidak mungkin akan mendorong terciptanya alienasi politik masyarakat dan kehidupan politik yang meliar; situasi yang sangat subur bagi persemaian anarkhi dan kekerasan politik apabila para elit dan tokoh politik gagal memenejnya.
Riding The Tiger Dihadapkan dengan fenomena dinamika dan realitas politik sebagaimana digambarkan di atas, kehadiran Pilkada langsung Juni 2005 menjadi menarik untuk dicermati. Bukan tidak mungkin kehadiran Pilkada 2005 secara langsung yang akan memilih sekitar 176 Bupati dan Walikota se Indonesia mengibaratkan kita semua sedang berada dalam kondisi "Riding the tiger". Situasi di mana kita dihadapkan pada kondisi yang problematic, jikalau Pilkada langsung gagal menciptakan konsolidasi demokrasi, kekhawatiran kembalinya otoritarianisme akan terbuka lebar dan sebaliknya jika pun berhasil dilaksanakan optimisme akan terciptanya konsolidasi demokrasi masih diragukan.
Menurut Ni'matul Huda dalam bukunya yang berjudul Ilmu Negara jika berbicara tentang sejarah teori demokrasi, ada 2(dua) fakta historis yang penting. Pertama, hampir semua orang pada masa ini mengaku sebagai demokrat. Beragam jenis rezim politik di dunia mendeskripsikan dirinya sebagai demokrasi. Namun, apa yang dikatakan dan diperbuat oleh rezin yang satu dengan rezim yang lain sering berbeda secara substansial.8 Kedua, sementara banyak negara yang saat ini menganut paham demokrasi, sejarah lembaga politiknya mengungkap adanya kerapuhan dan kerawanan tatanan demokrasi. Sejarah Eropa Abad ke-20 sendiri mengambarkan dengan jelas bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang sangat sulit untuk diwujudkan dan dijaga.
Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dibagi dalam dua tahap yaitu tahapan pra kemerdekaan dan tahapan pasca kemerdekaan. Perkembangan demokrasi di Indonesia pasca kemerdekaan mengalami pasang-surut (fluktuasi) dari masa kemerdekaan sampai saat ini, selama 55 tahun perjalanan bangsa dan negara Indonesia, masalah pokok yang dihadapi ialah bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi kehidupan berbangsa dan bernegara seperti dalam bidang politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya.
Hasil dan Pembahasan
membahas pentingnya membangun institusi demokratis sebagai prasyarat untuk sistem politik yang demokratis. Anda menyoroti kehadiran Pilkada langsung sebagai langkah strategis menuju kehidupan politik demokratis, serta pentingnya membangun etika dan moralitas politik baru, khususnya di kalangan elit politik. Anda juga membahas tantangan dalam konteks sosio-kultural Indonesia yang kental dengan paternalisme dan feodalisme, serta peran keberagaman budaya dalam perkembangan demokrasi. Melalui metode Analisis Naratif, Anda menyajikan argumen tentang pentingnya demokrasi dalam konteks Indonesia untuk memberikan kontribusi dalam memahami prinsip-prinsip demokrasi dan memperkuat sistem demokratis untuk kepentingan masyarakat.
Â
Simpulan dan Saran
Kesimpulan dari tulisan diatas adalah bahwa membangun institusi-institusi demokratis, memperkuat etika dan moralitas politik, serta memperhatikan konteks sosio-kultural Indonesia yang kaya akan keberagaman budaya, merupakan langkah krusial dalam mencapai sistem politik yang demokratis. Di atas juga menyoroti tantangan dalam menghadapi paternalisme, feodalisme, dan kurangnya kesantunan politik di kalangan elit politik.
Saran yang dapat diambil adalah meningkatkan kesadaran akan pentingnya demokrasi sejak tingkat individual, memperbaiki regulasi politik yang terkait dengan Pilkada langsung, serta memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses politik sebagai langkah untuk memperkuat demokrasi di Indonesia.
Â
Daftar Pustaka
Koho, I. R. (2021). Oligarki Dalam Demokrasi Indonesia. JurnalUnpri, 60-73.
Pane, R. M. (2022). Pendekatan Strategi Mind Mapping Dalam Pelajaran Sejarah Perkembangan Demokrasi Indonesia. jurnal medan resource center, 16-21.
Purnaweni, H. (2004). Demokrasi Indonesia Dari masa ke masa. Jurnal Administrasi Publik, 3.