Media adalah sahabat kami, kaum pelajar. Kami mengetahui semuanya dari media, iya, semua-muanya. Dengan terbatasnya relasi dan wawasan kami, tentu media lah yang membantu kami membuka mata tentang isi dunia. Begitu intimnya kami dengan media, sehingga pemikiran kami adalah pemikiran media. Kami adalah yang paling berhasil dikerjai media, dipengaruhi, dihipnotis, disuapi apa saja mulut kami menganga.
Bila memosisikan diri sebagai pelajar 'biasa', seperti saya melihat (maaf) kebanyakan kerabat sepergaulan saya, terlihat jelas betapa media menjadi penguasa alam fikir seseorang, betapa mudahnya kepercayaan kita direngkuh media. Namun persoalannya adalah, bagaimana jika pelajar-pelajar ini kemudian menampar pipinya berkali-kali dengan besi lalu tersadar bahwa "kadang sahabat hanyalah orang terdekat yang ingin memanfaatkan kebodohan anda".
Yang menyadarkan
Jadi begini, sehari lalu saya membaca artikel di media tentang berita meninggalnya salah satu guru besar Filsafat UGM,Prof. Damardjati Supadjar (innalillahi..). Nama yang asing bagi saya, namun dengan 3 kata kunci "prof,filsafat,UGM" saya langsung berasumsi bahwa beliau pastilah orang hebat! Saya baca beberapa artikel beliau salah satunya dari: (silahkan dibaca lebih lanjut tentang beliau) http://masjatmikodm.blogspot.com/2011/05/siapakah-prof-dr-damardjati-supadjar.html
Singkatnya beliau adalah satu lagi anak bangsa yang cerdas, yang patut dijadikan panutan, namun namanya baru saya (re: kami, pelajar) dengar untuk pertama kalinya kemarin, ketika beliau berpulang. Inilah fenomena yang menampar saya berulang kali itu, selama ini kami tau artis, politisi, artis yang menjadi politisi, atau politisi yang ngartis, atau politisi yang pacarnya artis.. dll. Tapi seorang guru panutan bangsa kami tak pernah dengar namanya!
Dilematis miris
Ketika tulisan ini dibuat, adik saya menyetel saluran salah satu stasiun TV yang menayangkan debat caleg artis. Saya sempat menyimak beberapa argumen mereka, selang 2 babak saya sudah muak, argumen mereka mentah, tidak dapat dipahami secara menyeluruh dan selalu berputar-putar. Tapi penonton begitu heboh, seakan-akan ruangan itu sangat panas.
Mungkin inilah kebutuhan masyarakat kita, media menyiarkan orang-orang yang, saya tidak bilang bodoh, mereka pintar, cerdas, tapi nekat bergelut di bidang yang membuat mereka terlihat bodoh. Sedangkan anak bangsa yang cerdas seperti Prof. Damardjati, namanya pun kita (kaum muda) tak tau.
Kami sebagai kaum muda yang juga sahabat media, tentu kecewa. Karena kami kehilangan sosok panutan atau lebih tepatnya (dihilangkan sosoknya). Kami tak diberi kesempatan barang 10% asupan tayangan tentang panutan-panutan anak cerdas bangsa dibanding tayangan-tayangan orang-orang bodoh saling berargumen kosong atau sekedar mencari sensasi. Lalu berjam-jam waktu kami dihabiskan di media, sedang orang-orang besar bangsa ini satu per satu terenggut usia. BANGSA INI BERNIAT LUPA?
Dengan tak hanya mengkambing-hitamkan media atau wawasan anak muda, saya ingin mengajak semua, semua anak bangsa, semua kaum, untuk membuka mata, jangan biarkan orang-orang bodoh terus diekspos media dan kita capek-capek memperbincangkan mereka namun anak-anak bangsa yang cerdas perlahan terlupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H