lingkungan menjadi pekerjaan rumah pemerintah daerah yang tidak kunjung menemukan penyelesaian. Daya tarik Jakarta sebagai pusat ekonomi membuat penduduk dari daerah lain beranggapan bahwa Jakarta adalah satu-satu nya tempat yang dapat memperbaiki kondisi ekonomi mereka.
Jakarta merupakan salah satu kota metropolitan terbesar yang ada di Asia Tenggara, dengan berbagai kemewahan dan manifestasi modernitas, Jakarta dihadapi dengan banyak permasalahan. Gerak urbanisasi yang sangat cepat hingga masalahBerdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk DKI Jakarta pada 2015 mencapai 10,18 juta jiwa. Kemudian meningkat menjadi 10,28 juta jiwa pada 2016, dan bertambah menjadi10,37 juta jiwa pada 2017. Artinya, selama dua tahun terakhir jumlah penduduk di ibu kota bertambah 269 jiwa setiap hari atau 11 orang per jam. Kota ini pada tahun 2017, menyumbang 25,45 persen dari total penduduk Indonesia dengan luas wilayah kurang dari 0,3 persen dari total wilayah Indonesia.[1]Â
Besar nya jumlah penduduk DKI Jakarta menyebabkan banyak permasalahan di kota ini. Selain kemacetan dan banjir---yang sudah begitu akrab dengan Jakarta---Jakarta dihadapkan dengan permasalahan baru. Berdasarkan riset tim peneliti geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), di Jakarta Utara setiap tahunnya telah tejadi penurunan permukaan tanah dengan kedalaman mencapai 25 cm. Selain di Jakarta Utara, terjadi pula penurunan di Jakarta Barat yang mencapai 15 cm per tahun. Jakarta Timur, 10 cm per tahun.Â
Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, masing-masing 2 cm dan 1 cm per tahun.[2] Penyebab utama penurunan tanah itu adalah karena pengambilan air-tanah dalam yang berlebihan karena Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) hanya bisa memenuhi 40 persen kebutuhan air bersih, termasuk air minum warga Jakarta. Penyebab lain adalah karena tingginya intensitas aktifitas yang terjadi di atas permukaan tanah Jakarta.Â
Di sisi lain, terjadi pula kenaikan permukaan air laut yang disebabkan mencairnya es di kutub akibat pemanasan global. Menurut Peniliti ITB, Heri Andreas, jika masalah ini tidak ditangani dengan tepat, kemungkinan bahwa pada tahun 2050, sekitar 95 persen wilayah Jakarta Utara berada di bawah permukaan laut bukan sesuatu yang mengada-ada.Â
Menurut saya, dengan kondisi yang dialami Jakarta sekarang ini, kebijakan pemindahan ibu kota sangat tepat karena akan mengurangi intensitas aktifitas yang ada di atas tanah Jakarta serta mengurangi kemungkinan tenggelamnya kota bersejarah ini. Namun, rencana pembangunan ibu kota baru di Kalimantan tetap harus diperhatikan karena berpotensi untuk menimbulkan permasalahan baru yang tidak hanya akan berdampak kepada Indonesia, tetapi akan berdampak kepada dunia.
Indonesia memiliki hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia---setelah Brasil dan Kongo---yang sebagian besarnya terletak di Kalimantan dan Sumatra. Berdasarkanlaporan yang dikeluarkan oleh organisasi internasional World Wide Fund for Nature (WWF), sejak tahun 1970 penggundulan hutan mulai marak di Indonesia. Pada tahun 1997-2000, laju kehilangan dan kerusakan hutan Indonesia mencapai 2,8 juta hektar per tahun. saat ini diperkirakan luas hutan alam yang tersisa hanya 28 persen. Kerusakan hutan ini disebabkan oleh beberapa hal seperti penebangan liar, kebakaran hutan, kegitatan penambangan, serta peralihan fungsi hutan menjadi perkebunan skala besar dan hutan tanaman industri.[3] Â
Salah satu fungsi hutan adalah menyerap emisi gas karbondioksida untuk diubah menjadi oksigen. Berkurangnya luas hutan akan menyebabkan terjadinya pelepasan emisi karbon yang telah diserap oleh hutan tersebut. Lahan gambut merupakan penyerap emisi gas rumah kaca yang sangat signifikan. Jika lahan gambut dibebaskan atau dibakar, maka emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer sangat besar (tiga sampai sepuluh kali emisi gas rumah kaca yang dilepaskan oleh ekosistem lainnya di daratan).
Kalimantan Tengah yang menjadi daerah rencana pemindahan ibu kota memiliki kawasan hutan seluas 12,7 juta hektar atau sekitar 11,65 persen dari total hutan di Indonesia.[4] Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa untuk membangun ibu kota baru, paling tidak dibutuhkan lahan seluas 40 ribu hektar untuk menampung 1,5 juta jiwa, ditambah dengan penghitungan pengembangan kota sekitar 80-100 ribu lahan akan dibebaskan. Angka tersebut akan terus bertambah seiring dengan rampungnya Kalimantan Tengah menjadi ibu kota negara, serta akan memengaruhi fungsi Kalimantan Tengah sebagai salah satu produsen hutan hujan tropis di dunia yang menjadi paru-paru dunia.[6]Â
PenutupÂ
Rencana pemindahan ibu kota negara perlu mendapat sambutan yang baik karena kondisi dan permasalahan---terutama permasalahan lingkungan---Jakarta yang tidak kunjung terselesaikan ditambah selain beban Jakarta sebagai pusat pemerintahan, Jakarta adalah pusat ekonomi dan komersial.