Setiap harinya, puluhan ton sampah dibakar di Indonesia, menghasilkan asap yang mengancam kesehatan masyarakat. Menurut Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 oleh Kemenkes, diperoleh hasil bahwa cara utama pengelolaan sampah rumah tangga dilakukan dengan dibakar yaitu sebesar 57,2%. Ini artinya, lebih dari setengah masyarakat melakukan penanganan sampah dengan cara dibakar.
Pemandangan asap pembakaran sampah bukanlah hal yang asing di banyak daerah di Indonesia, terutama pada lingkungan masyarakat. Banyak pedesaan dan lingkungan masyarakat belum memiliki fasilitas pengolahan sampah yang memadai, sehingga masyarakat memilih cara yang lebih praktis yaitu membakar sampah. Kegiatan membakar sampah masih menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan, meskipun dampak bagi kesehatan dan lingkungan sudah jelas adanya.
Dampak Buruk Pembakaran Sampah
Pembakaran sampah memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan dan lingkungan. Asap hasil pembakaran sampah mengandung partikel kecil yang dapat dengan mudah terhirup. Sebuah studi menunjukkan bahwa paparan terhadap asap yang mengandung partikulat berbahaya seperti PM2.5 meningkatkan risiko penyakit pernapasan seperti kanker paru-paru. Selain itu, terdapat zat beracun seperti dioksin dan furan yang bersifat karsinogen dan menyebabkan berbagai macam penyakit.
Tidak hanya berbahaya bagi kesehatan, pembakaran sampah juga dapat merusak lingkungan. Abu dan sisa hasil pembakaran sampah mengandung logam berat seperti timbal, merkuri, kadmium yang mencemari lingkungan tanah dan air.
Mengapa Masih Membakar Sampah?
Ada banyak sekali faktor yang menyebabkan kebiasaan ini sulit untuk dihilangkan. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya fasilitas pengolahan sampah yang memadai. Di banyak daerah terutama pedesaan, masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain membakar sampah karena tidak adanya tempat pembuangan dan pengangkutan sampah yang layak. Â Survei Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2023 menunjukkan baru sekitar 48.56% sampah di Indonesia yang ditangani dengan baik.
Selain itu, membakar sampah juga dianggap cara yang paling cepat dan mudah dalam menangani tumpukan sampah. Kebiasaan yang berlangsung turun-temurun dan kurangnya kesadaran masyarakat tentang dampak buruk pembakaran sampah menjadi salah satu penyebab perilaku tersebut sulit diubah.
Solusi untuk Masa Depan
Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi masalah yang sudah menjadi kebiasaan ini? Â Jawabannya sederhana namun membutuhkan komitmen untuk berubah oleh semua pihak yang terlibat dalam penanganan sampah ini. Pertama, perlu diadakannya fasilitas pengolahan sampah yang memadai di setiap daerah dan penerapan teknologi ramah lingkungan untuk pengolahan sampah secara mandiri, seperti komposting dan daur ulang.
Selain itu, edukasi tentang pentingnya menjaga lingkungan harus dilakukan. Masyarakat perlu dibimbing dan diajarkan cara pengelolaan sampah dengan baik dan benar, dimulai dari pemilahan sampah hingga pengolahan sampah baik organik maupun anorganik. Peran pemerintah juga sangat penting dalam mengatasi masalah ini. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang lebih tegas mengenai pengelolaan sampah dan memberikan dukungan kepada masyarakat untuk menerapkan praktik pengelolaan sampah yang baik.
Mari Bersama-sama Menjaga Bumi
Pembakaran sampah merupakan masalah yang serius dan harus kita hadapi bersama. Kesadaran dan tindakan nyata dari kita semua sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat bagi generasi mendatang. Dimulai dari hal-hal kecil, seperti memilah sampah dan mengurangi produksi sampah, kita sudah berkontribusi dalam menjaga bumi.
Ingatlah, Bumi adalah rumah kita satu-satunya
Sumber:
Sistem Informasi pengelolaan sampah Nasional (no date) SIPSN. Available at: https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/ (Accessed: 15 September 2024).
'Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 Dalam Angka' (2023). Jakarta Pusat: Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan.
Yasunari, T.J. et al. (2024) 'Increased atmospheric PM2.5 events due to open waste burning in Qaanaaq, Greenland, summer of 2022', Atmospheric Science Letters, 25(7). doi:10.1002/asl.1231.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H