Kesatuan dan persatuan merupakan pengikat bangsa kita yang beragam dan besar ini. Toleransi menjadi alat paling ampuh untuk menciptakan integrasi di negara kita ini , termasuk di dalam nya toleransi dalam ber agamaKeberagaman ber-agama di Indonesia sekaligus menuntut rakyat nya untuk memeliki dan menerapkan sifat saling menghargai (toleransi) dan tak mencemooh antara satu kepercayaan dan kepercayaan lain, hal ini apabila terwujud dapat meningkatkan persatuan dan kesatuan serta keutuhan ibu pertiwi, serta meningkatkan kualitas kehidupan masyarakatnya.Â
Cara pandang bangsa Indonesia terhadap agama telah diatur semenjak pertama kali terbentuknya negara ini, para pendiri bangsa ini sudah terlebih dahulu memikirkan bagaimana mengatasi bentuk keberagaman yang ada di negara ini.Penempatan nilai ketuhanan di sila pertama juga menggambarkan bagaimana penting nya kehidupan beragama di indonesia sehingga di letakkan di bait pertama pada dasar negara kita itu.
Masalah masalah seperti ini tak lepas di daerah tempat saya tinggal. Suku Minang Kabau yang mendominasi hampir keseluruhan dari populasi Provinsi Sumatera Barat,yang percaya dan menganut agama islam, tentu dapat dengan mudah menimbulkan pergesekan di dalam perbedaan agama. ditambah pula yang biasanya penduduk pemeluk agama selain muslim merupakan pendatang pendatang dari daerah luar Sumatera Barat,di dalam nya terdiri dari pendatang-pendatang dari luar yang tak bersuku kan minang dan tak seluruh nya muslim, seperti pendatang dari Jawa, Nias , Bangka, dan banyak lainnya.Â
Dan mereka memilih sebuah komplek dan perumahan terkhusus untuk tinggal dan biasanya terisolasi dari tempat tinggal penduduk lokal. Hal ini dilakukan agar tak berbentur antara mereka dan aqidah orang lokal yang memegang teguh aqidah islamiyah, dengan kata lain masayarakat kepercayaan lain diberikan tempat khusus agar tercampur masalah sosial dan masalah publik yang mereka hadapi. Meskipun begitu, pendatang tersebut tetap diterima dengan tangan terbuka, dan juga dalam keseharian mereka dan kegiatan mencari nafkah dan kegiatan belajar mereka dapat dilakukan sebagaimana umumnya.
Hal ini saya pastikan melalui pembicaraan yang saya lakukan dengan teman saya yang memiliki etnis tionghoa dan telah lama menetap di Kota Bukittinggi. Â Perayaan imlek dan perayaan perayaan lainnya dapat ia dan keluarga nya laksanakan dengan nyaman, meskipun warga pribumi tak turut serta dalam perayaan ataupun mengucapkan ucapan selamat. dan juga peribadatan yang mereka lakukan setiap kalinya dilakukan tenang penuh ketenangan.Â
Setelah ia menyatakan hal tersebut, saya pun menanyakan pendapat nya mengenai permasalahan pembangunan rumah peribadatan di daerah lain di Sumatera Barat. ia menjawab bahwa saudaranya yang berada di luar Bukittinggi juga mengeluhkan hal tersebut, dan sebenarnya rumah peribadatan tersebut telah diajukan perizinan nya ke pihak pemerintah. Akan tetapi sepertinya pihak berkewajiban tak terlalu menghiraukan hal tersebut, sehingga permasalahan mengenai rumah ibadah ini seakan akan hanya dibiarkan menggantung tanpa kejelasan begitu saja.
Pernyataan ini dapat menyatakan juga  bahwa di ranah Minang, khususnya di daerah Bukittinggi, pengamalan dari sila pertama pancasila diterapkan dengan baik, dimana masayrakatnya keseluruhannya dapat memegang kepercayaan mereka secara utuh tanpa adnya pergeselan antar kepercayaan mereka.  Namun sangat di sayangkan di beberapa daerah masih terjadi disintegrasi yang dapat memecah belah bangsa kita. Memang terdapat pribahasa di Minang yang menyatakan dima bumi di pijak di sinan langik di junjuang, yang memiliki arti bahwa dimana daerah kita berada atau menetap, aturan dan ketetapan di sanalah yang kita ikuti. Sebenarnya pribahasa ini memiliki maka yang positif, dimana kita harus menghargai budaya setempat, akan tetapi baik dari para suku minang atau dari para pendatang pun sering kali salah menilai dan memaknai pribahasa tersebut.
 Seluruh rakyat Indonesia juga diberikan kebebasan dalam memilih kepercayaan yang di anutnya, tak ada paksaan atau aturan tertentu yang memerintahkan rakyat untuk memeluk satu agama tertentu serta bebas menentukan kehidupan beragama mereka sendiri. Meskipun diyakini begitu,dalam perjalanannya negara ini kerap menemukan kasus --kasus penistaan agama, rasisme, pemboikotan, penyerangan terhadap suatu agama dan kasus kasus yang bersangkutan dengan agama lainnya. Hal ini terjadi tak hanya sekali atau dua kali, sepanjang sejarah Indonesia bahkan sebelum kemerdekaan pada masa penjajahan pun teradapat juga kejadian kejadian di atas.
Walaupun pada keseringan kasus dapat terselesaikan, namun dalam proses penyelesaian kasus tersebut menciptakan kesenggangan dan ketidak harmonisan sesama bangsa Indonesia, sehingga menciptakan ancaman yang cukup serius bagi persatuan dan kesatuan bangsa kita. Maka untuk mencegah hal hal tersebut, kedepannya perlu ada pencegahan agar hal seperti itu tak terjadi lagi. Disamping peran pemerintah yang harus diperkuat dan dipertegas kita sebagai pemeran pemersatu bangsa sendiri harus sadar akan nilai persatuan dan dapat menghindari ancaman ancaman internal yang dapta merusak moral bangsa kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI