Mohon tunggu...
Muhammad Faris Ibrahim
Muhammad Faris Ibrahim Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seekor kutu di bulu kelinci dalam topi, yang berharap suatu saat, dapat menatap mata si tukang sulap.

Hanya manusia biasa, yang punya cita-cita bisa masuk rumah sakit jiwa, karena membaca.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Terlatih Patah Mimpi

10 Juli 2019   19:59 Diperbarui: 11 Juli 2019   06:43 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mimpi adalah filosofi; sesuatu yang wujud di dalam kepala, dan setiap manusia punya perasaan berdaya untuk mewujudkannya[i]. Namun, susahnya, sesempurna apapun filosofi, manusia selalu dicarap oleh kenyataan pahit bahwa mereka adalah makhluk yang diciptakan dalam keadaan kurang (naqis). Bekalnya kurang, tenaganya tak berdaya, tekadnya tenggelam. Semua kekurangan itu, kadang membuat manusia berhenti di tengah jalan- menyerah untuk mewujudkan filosofinya. 

Berhenti di satu stasiun, berdiri di bibir rel, duduk bersandar barang sebentar, melihat rangkaian filosofi baru bersambang dari kejauhan, menghitung sisa daya yang masih tersedia untuk bisa sampai tujuan, begitulah rihlah filosofi para pemimpi kebanyakan. Para pemimpi adalah korban pahitnya realita yang dipaksa bermigrasi oleh kondisi dunia yang kejam. Mereka selalu dihantui oleh ketakutan tentang kapan perjalanan mereka berakhir, kapan sampai tujuan, kapan mereka bisa pulang.

Namun begitu, mimpi tetaplah mimpi. Mimpi adalah filosofi. Dan filosofi erat kaitannya dengan tradisi ilmu pengetahuan, selalu mengalami perubahan berkelanjutan, terus membongkar pemapanan, memunculkan tatanan baru. Para pemimpi mempertahankan filosofinya, berperang melawan diri, diserang oleh keadaan, dihimpit oleh tren zaman. Sampai ketika daya kehabisan, filosofi itu terpaksa harus dibongkarnya kembali, dan mulai mencari rangkaian lain.

Bagi para pemimpi, jalan pulang tidaklah pernah ada. Kereta filosofi selalu berjalan maju. Ke mana pun tujuan kelak bermuara, mereka tidak akan pernah menoleh ke belakang. Kenyataan itulah yang kadang membuat para pemimpi membenci diri. Saat- saat di mana mereka harus menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan mimpi diri. Ketika filosofinya tidak sesuai ekspektasi, tidak sesuai keinginan diri, di detik itulah para pemimpi kadang berakhir mengumpat diri.

Itulah mungkin yang dirasakan oleh pemuja filsafat gereja di abad pertengahan, benci, melihat filosofi Copernicus tentang matahari sebagai pusat semesta mulai diterima khalayak Eropa. Filosofi menjadi dosa kala ia berubah menjadi realita, begitu dedas para pemuka gereja dan pemujanya. Keinginan mereka adalah mempertahankan filosofi mereka tentang bumi sebagai pusat semesta. Namun apalah daya, realita berbalik memunggungi mereka.

Bermimpi- masuk kampus idaman, kerja di perusahaan terkenal, nikah dengan calon idaman- adalah filosofi. Tidak perlu diharap terlalu dalam, agar tidak berubah menjadi benci saat tidak sesuai nanti. Nikmati, karena bermimpi adalah filosofi. Filosofi adalah perjalanan, terus singgah lalu pergi. Tidak perlu ditangisi. Mulailah mencintai realita, memupuknya menjadi filosofi. Jangan paksa filosofi pribadi selalu ingin jadi realita. Jangan ulang, ulah mereka para pemuka gereja beserta pengagumnya.

Bermimpi itu berlatih hidup tak sesuai keinginan. Para Imigran mungkin tidak pernah rela meninggalkan tanah airnya tercinta, namun sebagian dari mereka menyadari bahwa di negeri orang tak lekas mereka mesti mematahkan mimpi. Mereka berlatih hidup tak sesuai harapan. Terlatih sampai kegagalan tidaklah lagi berarti bagi mereka. Gagasan itulah mungkin yang hinggap melandai di kepala Rami Malek, sukses menaruh peruntungan di dunia sandiwara, hingga didaulat menjadi pemenang Oscar.    

Pada akhirnya semua pemimpi sama seperti Ahmad kecil, yang pernah membenci sayuran yang ummi-nya suapkan. Namun hari ke hari, Ahmad muda akhirnya menyadari realita yang tidak bisa dielaknya; yaitu kenyataan bahwa tubuhnya amat membutuhkan sayuran walaupun selera dirinya tidak. Ketika pemimpi mulai mencintai realita, dan mulai menumbuhkan filosofinya di sana, ketika itulah pemimpi perlahan akan menemukan filosofi barunya yang lebih menjanjikan, yang sempat ter-hijab oleh ego sekelebat. 

Yang perlu dilakukan pemimpi adalah sedini mungkin jatuh cinta pada realita. Bagi Abbas Mahmud Akkad mimpi bukanlah perjalanan panjang singgah lalu pergi. Akkad tidak mau menghabiskan umurnya dalam rihlah filosofi berkepanjangan. Akkad lebih percaya, alangkah lebih baiknya manusia dalam bermimpi menghayati tali yang dibentangkan oleh Tuhan sebagai ketetapan, kemudian menyusurinya dengan yakin hingga akhir. Akkad yakin, tali itu tidak mungkin dibentangkan di tempat dan pada siapa yang salah. Setiap manusia, punya talinya sendiri.     

Akkad sejak dini jatuh cinta pada tali realitanya itu, makanya mimpinya sepanjang hidup hanyalah satu saja sejak kecilnya: yaitu menjadi pembuat pena[ii]. Ia tidak pernah terpikir menjadi selainnya. Absahlah pandangannya itu, karena sisa kisah hidupnya seluruhnya menjadi sejarah. Setelah memilih menjadi pembuat pena, kereta kehidupan Akkad tidak pernah tergelincir dari rel pena-nya. Menjadi direktur majalah, ratusan buku, hampir seribu makalah, seri Abqariyyat-nya yang mendunia. Semuanya bermula dari gagasannya mencintai realita selagi dini.

Namun begitu, kasus Akkad di dunia nyata memang amat sangat langka ditemukan. Kebanyakan orang terlahir sebagai pemimpi ragam filosofi; karena yang paling nyata menjelaskan tabiat manusia adalah perubahan (hadis)- manusia terkenal cepat bosan. Makanya kebanyakan orang tidak mengalami kasus mimpi Akkad yang langka. Kebanyakan manusia memulai mimpinya sebagai imigran, berpindah dari yang satu ke yang lain sampai menemukan dirinya dalam kecocokan realita, baru kemudian menetap.

Makanya, tidak ada kata terlambat untuk mulai mencintai realita- sepanjang apapun rihlah mimpi pernah ditempuh. Paling tidak Malik bin Nabi telah membuktikan itu. Tidak seperti Akkad yang miskin pengalaman patah mimpi, Benabi sudah terlatih patah mimpi hingga gagal menjadi kebal baginya. Aljazair-negerinya- telah berkali- kali mematahkan mimpinya. Makanya di sela jendela, saat kapalnya beranjak meninggalkan Aljazair menuju Perancis, Benabi latah menyebut tanah airnya itu sebagai negeri durhaka.

Ternyata sesampainya di Perancis, kondisinya tidak jauh berbeda. Benabi Sempat hampir terjerumus dalam benci, ketika keinginannya mengeyam pendidikan tinggi di Oriental Institut Perancis harus pupus tanpa kejelasan. Namun, karena terlatih patah mimpi, ia jadi belajar untuk mencintai realita, kemudian menggembangkan filosofinya. Ia terima ketidakberdayaannya mewujudkan cita- citanya, mencari kembali arah- arah baru, hingga berhasil menemukan dirinya.

Masuk ke salah satu Institut Tekhnik Elektro di Paris, Benabi mencoba peruntungan. Awalnya setengah hati belajar, sudah barang tentu, cita-citanya memang dari awal ingin menjadi pemikir, tak pernah terbayang kelak menjadi teknokrat. Namun urung disangka, ternyata ia malah jatuh hati dengan sekolahnya itu.

Setelah meresapi lebih lanjut hikmah keberadaannya di sana, ia malah merasa beruntung bisa bersentuhan langsung dengan kunci kemajuan peradaban Barat. Bahkan, saat di bengkel, kata Benabi, ia merasa menemukan sisi lain dari Islam yang tidak pernah ia temukan sebelumnya. Baginya bengkel merupakan masjid baru- tempatnya beribadah menuntut ilmu.

Dengan belajar Tekhnik, Malik bin Nabi malah banyak menemukan inspirasi mematenkan sistematika logis kebangkitan peradaban Islam dalam teori- teorinya. Dengan mudahnya ia mengawinkan teori- teori Fisika ke sebentuk nasehat kepada du'at umat. kata Benabi di sela ta'limnya bersama para pemuda mensyarah materi perubahan energi:

"Sesungguhnya kewajiban seorang muslim terhadap masyarakatnya itu seperti sebuah Transducer (alat pengubah energi) yang dapat mengubah energi terpendam dalam Al- Qur'an kemudian menyalurkannya dalam jiwa setiap orang, juga masyarakat."[iii]

Kegagalan menjadi tidak berarti bagi mereka yang sudah terlatih patah mimpi. Mimpi adalah filosofi. Filosofi adalah perjalanan. Perjalanan tidak selamanya tentang menyusuri indahnya sunset di bibir pantai. Kadang ada kemacetan yang memanggang emosi, sesama pengemudi yang tidak sabaran, bising bunyi klakson segala transportasi. Perjalanan pemimpi, tidak pernah semudah membalik telapak tangan.    

Bagi mereka yang telah terlatih patah mimpi, kebenaran dan kebatilan, kegagalan dan keberhasilan, susah dan senang, semuanya seperti benang hitam dan putih yang jadi satu jalinan. Bagi mereka, itu semua menjadi ihwal yang biasa. Dualisme itu diciptakan agar manusia meyakini, bahwa segalanya tercipta berpasang- pasangan, namun Yang Esa tetaplah Tuhan. Dengan keyakinan itulah pemimpi dapat sepenuh hati mencintai realita perjalanannya, kemudian berhenti untuk memupuk filosofinya.

Jalan pulang bagi pemimpi memang tidaklah pernah ada, namun waktu untuk berhenti selalu ada pasti. Ada kalanya para petualang mimpi itu di suatu titik harus berhenti. Ketika tempat berteduh dirasa nyaman sesuai diri, segala destinasi mimpi tidaklah lagi berarti. Mulailah menaruh hati pada realita, sesuaikan filosofi pribadi dengannya. Waktunya menetap, memupuk filosofi, jangan terus berjalan, ada waktunya pemimpi berhenti. Kata Syed Naquib al- Attas: "hati- hati dengan pengembaraan tanpa henti."

 Allahu a'lam

 Referensi:  

[i] Anis Matta- Mencari Pahlawan Indonesia, 33.

[ii] Abbas Mahmud al-Aqqad- Hayat al- Qalam, 3, 4 

[iii] Dr. Fauziah Biryun- Malik bin Nabi Asruhu wa Haytuhu wa Nadzariyyatuhu fil Hadharoh, 112, 138

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun