Makanya, tidak ada kata terlambat untuk mulai mencintai realita- sepanjang apapun rihlah mimpi pernah ditempuh. Paling tidak Malik bin Nabi telah membuktikan itu. Tidak seperti Akkad yang miskin pengalaman patah mimpi, Benabi sudah terlatih patah mimpi hingga gagal menjadi kebal baginya. Aljazair-negerinya- telah berkali- kali mematahkan mimpinya. Makanya di sela jendela, saat kapalnya beranjak meninggalkan Aljazair menuju Perancis, Benabi latah menyebut tanah airnya itu sebagai negeri durhaka.
Ternyata sesampainya di Perancis, kondisinya tidak jauh berbeda. Benabi Sempat hampir terjerumus dalam benci, ketika keinginannya mengeyam pendidikan tinggi di Oriental Institut Perancis harus pupus tanpa kejelasan. Namun, karena terlatih patah mimpi, ia jadi belajar untuk mencintai realita, kemudian menggembangkan filosofinya. Ia terima ketidakberdayaannya mewujudkan cita- citanya, mencari kembali arah- arah baru, hingga berhasil menemukan dirinya.
Masuk ke salah satu Institut Tekhnik Elektro di Paris, Benabi mencoba peruntungan. Awalnya setengah hati belajar, sudah barang tentu, cita-citanya memang dari awal ingin menjadi pemikir, tak pernah terbayang kelak menjadi teknokrat. Namun urung disangka, ternyata ia malah jatuh hati dengan sekolahnya itu.
Setelah meresapi lebih lanjut hikmah keberadaannya di sana, ia malah merasa beruntung bisa bersentuhan langsung dengan kunci kemajuan peradaban Barat. Bahkan, saat di bengkel, kata Benabi, ia merasa menemukan sisi lain dari Islam yang tidak pernah ia temukan sebelumnya. Baginya bengkel merupakan masjid baru- tempatnya beribadah menuntut ilmu.
Dengan belajar Tekhnik, Malik bin Nabi malah banyak menemukan inspirasi mematenkan sistematika logis kebangkitan peradaban Islam dalam teori- teorinya. Dengan mudahnya ia mengawinkan teori- teori Fisika ke sebentuk nasehat kepada du'at umat. kata Benabi di sela ta'limnya bersama para pemuda mensyarah materi perubahan energi:
"Sesungguhnya kewajiban seorang muslim terhadap masyarakatnya itu seperti sebuah Transducer (alat pengubah energi) yang dapat mengubah energi terpendam dalam Al- Qur'an kemudian menyalurkannya dalam jiwa setiap orang, juga masyarakat."[iii]
Kegagalan menjadi tidak berarti bagi mereka yang sudah terlatih patah mimpi. Mimpi adalah filosofi. Filosofi adalah perjalanan. Perjalanan tidak selamanya tentang menyusuri indahnya sunset di bibir pantai. Kadang ada kemacetan yang memanggang emosi, sesama pengemudi yang tidak sabaran, bising bunyi klakson segala transportasi. Perjalanan pemimpi, tidak pernah semudah membalik telapak tangan. Â Â
Bagi mereka yang telah terlatih patah mimpi, kebenaran dan kebatilan, kegagalan dan keberhasilan, susah dan senang, semuanya seperti benang hitam dan putih yang jadi satu jalinan. Bagi mereka, itu semua menjadi ihwal yang biasa. Dualisme itu diciptakan agar manusia meyakini, bahwa segalanya tercipta berpasang- pasangan, namun Yang Esa tetaplah Tuhan. Dengan keyakinan itulah pemimpi dapat sepenuh hati mencintai realita perjalanannya, kemudian berhenti untuk memupuk filosofinya.
Jalan pulang bagi pemimpi memang tidaklah pernah ada, namun waktu untuk berhenti selalu ada pasti. Ada kalanya para petualang mimpi itu di suatu titik harus berhenti. Ketika tempat berteduh dirasa nyaman sesuai diri, segala destinasi mimpi tidaklah lagi berarti. Mulailah menaruh hati pada realita, sesuaikan filosofi pribadi dengannya. Waktunya menetap, memupuk filosofi, jangan terus berjalan, ada waktunya pemimpi berhenti. Kata Syed Naquib al- Attas: "hati- hati dengan pengembaraan tanpa henti."
 Allahu a'lam
 Referensi: Â