Mimpi adalah filosofi; sesuatu yang wujud di dalam kepala, dan setiap manusia punya perasaan berdaya untuk mewujudkannya[i]. Namun, susahnya, sesempurna apapun filosofi, manusia selalu dicarap oleh kenyataan pahit bahwa mereka adalah makhluk yang diciptakan dalam keadaan kurang (naqis). Bekalnya kurang, tenaganya tak berdaya, tekadnya tenggelam. Semua kekurangan itu, kadang membuat manusia berhenti di tengah jalan- menyerah untuk mewujudkan filosofinya.Â
Berhenti di satu stasiun, berdiri di bibir rel, duduk bersandar barang sebentar, melihat rangkaian filosofi baru bersambang dari kejauhan, menghitung sisa daya yang masih tersedia untuk bisa sampai tujuan, begitulah rihlah filosofi para pemimpi kebanyakan. Para pemimpi adalah korban pahitnya realita yang dipaksa bermigrasi oleh kondisi dunia yang kejam. Mereka selalu dihantui oleh ketakutan tentang kapan perjalanan mereka berakhir, kapan sampai tujuan, kapan mereka bisa pulang.
Namun begitu, mimpi tetaplah mimpi. Mimpi adalah filosofi. Dan filosofi erat kaitannya dengan tradisi ilmu pengetahuan, selalu mengalami perubahan berkelanjutan, terus membongkar pemapanan, memunculkan tatanan baru. Para pemimpi mempertahankan filosofinya, berperang melawan diri, diserang oleh keadaan, dihimpit oleh tren zaman. Sampai ketika daya kehabisan, filosofi itu terpaksa harus dibongkarnya kembali, dan mulai mencari rangkaian lain.
Bagi para pemimpi, jalan pulang tidaklah pernah ada. Kereta filosofi selalu berjalan maju. Ke mana pun tujuan kelak bermuara, mereka tidak akan pernah menoleh ke belakang. Kenyataan itulah yang kadang membuat para pemimpi membenci diri. Saat- saat di mana mereka harus menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan mimpi diri. Ketika filosofinya tidak sesuai ekspektasi, tidak sesuai keinginan diri, di detik itulah para pemimpi kadang berakhir mengumpat diri.
Itulah mungkin yang dirasakan oleh pemuja filsafat gereja di abad pertengahan, benci, melihat filosofi Copernicus tentang matahari sebagai pusat semesta mulai diterima khalayak Eropa. Filosofi menjadi dosa kala ia berubah menjadi realita, begitu dedas para pemuka gereja dan pemujanya. Keinginan mereka adalah mempertahankan filosofi mereka tentang bumi sebagai pusat semesta. Namun apalah daya, realita berbalik memunggungi mereka.
Bermimpi- masuk kampus idaman, kerja di perusahaan terkenal, nikah dengan calon idaman- adalah filosofi. Tidak perlu diharap terlalu dalam, agar tidak berubah menjadi benci saat tidak sesuai nanti. Nikmati, karena bermimpi adalah filosofi. Filosofi adalah perjalanan, terus singgah lalu pergi. Tidak perlu ditangisi. Mulailah mencintai realita, memupuknya menjadi filosofi. Jangan paksa filosofi pribadi selalu ingin jadi realita. Jangan ulang, ulah mereka para pemuka gereja beserta pengagumnya.
Bermimpi itu berlatih hidup tak sesuai keinginan. Para Imigran mungkin tidak pernah rela meninggalkan tanah airnya tercinta, namun sebagian dari mereka menyadari bahwa di negeri orang tak lekas mereka mesti mematahkan mimpi. Mereka berlatih hidup tak sesuai harapan. Terlatih sampai kegagalan tidaklah lagi berarti bagi mereka. Gagasan itulah mungkin yang hinggap melandai di kepala Rami Malek, sukses menaruh peruntungan di dunia sandiwara, hingga didaulat menjadi pemenang Oscar. Â Â
Pada akhirnya semua pemimpi sama seperti Ahmad kecil, yang pernah membenci sayuran yang ummi-nya suapkan. Namun hari ke hari, Ahmad muda akhirnya menyadari realita yang tidak bisa dielaknya; yaitu kenyataan bahwa tubuhnya amat membutuhkan sayuran walaupun selera dirinya tidak. Ketika pemimpi mulai mencintai realita, dan mulai menumbuhkan filosofinya di sana, ketika itulah pemimpi perlahan akan menemukan filosofi barunya yang lebih menjanjikan, yang sempat ter-hijab oleh ego sekelebat.Â
Yang perlu dilakukan pemimpi adalah sedini mungkin jatuh cinta pada realita. Bagi Abbas Mahmud Akkad mimpi bukanlah perjalanan panjang singgah lalu pergi. Akkad tidak mau menghabiskan umurnya dalam rihlah filosofi berkepanjangan. Akkad lebih percaya, alangkah lebih baiknya manusia dalam bermimpi menghayati tali yang dibentangkan oleh Tuhan sebagai ketetapan, kemudian menyusurinya dengan yakin hingga akhir. Akkad yakin, tali itu tidak mungkin dibentangkan di tempat dan pada siapa yang salah. Setiap manusia, punya talinya sendiri. Â Â Â
Akkad sejak dini jatuh cinta pada tali realitanya itu, makanya mimpinya sepanjang hidup hanyalah satu saja sejak kecilnya: yaitu menjadi pembuat pena[ii]. Ia tidak pernah terpikir menjadi selainnya. Absahlah pandangannya itu, karena sisa kisah hidupnya seluruhnya menjadi sejarah. Setelah memilih menjadi pembuat pena, kereta kehidupan Akkad tidak pernah tergelincir dari rel pena-nya. Menjadi direktur majalah, ratusan buku, hampir seribu makalah, seri Abqariyyat-nya yang mendunia. Semuanya bermula dari gagasannya mencintai realita selagi dini.
Namun begitu, kasus Akkad di dunia nyata memang amat sangat langka ditemukan. Kebanyakan orang terlahir sebagai pemimpi ragam filosofi; karena yang paling nyata menjelaskan tabiat manusia adalah perubahan (hadis)- manusia terkenal cepat bosan. Makanya kebanyakan orang tidak mengalami kasus mimpi Akkad yang langka. Kebanyakan manusia memulai mimpinya sebagai imigran, berpindah dari yang satu ke yang lain sampai menemukan dirinya dalam kecocokan realita, baru kemudian menetap.