Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, akan menggelar Pemilihan Umum yang diklaim teresar di dunia pada 2024 mendatang. Jumlah total pemilih diperkirakan mencapai 74% dari total populasi di Indonesia, sebagai di anataranya adalah pemilih pemula.
Dalam pemilu 2024 mendatang, generasi muda berusia usia 22-30 tahun akan mendominasi pemilih secara nasional, dengan porsi 56%, atau sekitar 114 juta. Separuh dari mereka akan menjadi pemilih pemula. Selain dinasti politik, potensi polarisasi, misinformasi dan disinformasi di media sosial masih menjadi isu utama menjelang pemilu 2024.
Presiden Ir. Joko Widodo ingatkan para kontestan pemilu 2024 agar menjalankan kampanye yang sehat dan berkualitas. "Kita harus mengingatkan para kontestan pemilu agar menjalankan kampanye yang semakin berkualitas dan menyehatkan demokrasi, bukan kampanye gontok-gontokan, bukan kampanye yang merusak tatanan bangsa," kata Ir. Joko Widodo di Seminar Program Pendidikan Reguler Angkatan 63 di Lemhannas RI (9/8).
Menurut Presiden, para kontestean pemilu harus memulai kampanye yang mengurangi mobilisasi massa dan manfaatkan teknologi informasi. "Penggunaan teknologi informasi ini diharapkan dapat melahirkan kampanye yang berintegritas yang menolak penggunaan politik SARA dan politik identitas, yang lebih mengedepankan politik ide dan gagasan, karena yang ingin kita bangun bukan demokrasi pengkultusan, bukan demokrasi idola, tapi demokrasi gagasan," lanjut Ir. Joko Widodo.
Menurut pengukuran EIU Democracy Index, Indonesia berada di kategori "Flawed Democracy" dengan skor 6,71 menempati urutan ke-52 di dunia dari total 165 negara. Merangkum dari EIU Democracy Index dan Freedom in the World, sudah ada beberapa indeks demokrasi Indonesia yang dinilai sangat baik, yaitu fungsi pemerintah, partisipasi politik, proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, proses pemilu, pluralisme dan partisipasi politik, fungsi pemerintah, otonomi personal dan hak individu.
Membahas soal Presidential Threshold, Â masih menjadi salah satu istilah yang saat ini sedang hangat menjadi perbincangan adalah presidential threshold yang merupakan ambang batas Partai Politik (Parpol) untuk mengajukan Calon Presiden dan Wakil Presiden baik secara koalisi maupun tidak. Dalam sejarahnya, presidential threshold pertama kali diterapkan pada pemilu 2004. Pada saat itu ambang batas yang ditetapkan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah 15% kursi DPR RI atau memperoleh 20% suara sah nasional dalam pemilu legislatif.Â
Beranjak dalam pemilu selanjutnya, yaitu pemilu 2009. Kali ini ambang batas yang ditetapkan sedikit berbeda, dimana koalisi maupun partai harus memiliki 20% suara atau 115 kursi dari 574 kursi yang ada di DPR RI. Hal tersebut membuat peserta pemilihan presiden dan wakil presiden menyusut menyisakan 3 pasang calon dan berkurang menjadi 2 calon pada pemilu 2014 dan 2019.
Dalam sejarahnya dan hingga saat ini, hanya terdapat 2 partai yang berhasil lolos dalam presidential threshold yakni Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Demokrat sendiri lolos dalam presidential threshold dalam pemilu 2009 berkat 19,33% suara atau 128 kursi di DPR RI dalam pemilu legislatif tahun 2004 sehingga otomatis lolos pada 2009. Hal tersebut kembali terulang oleh PDIP dimana lolos dalam presidential threshold pada tahun 2019 berkat kesuksesan dalam pemilu 2014 dengan memperoleh 150 kursi atau sebanyak 26,4% kursi di DPR RI.
Penerapan ambang batas dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara garis besar bertujuan untuk memperkuat sistem presidensial dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Dalam hal ini diharapkan, dengan adanya presidential threshold jumlah peserta atau calon peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden akan dapat terkerucut. Namun, pendapat mengenai adanya presidential threshold di Indonesia secara garis besar terbagi menjadi 2 kubu, Pro dan Kontra.
Terakhir, presidential threshold juga akan memupuskan harapan akan adanya kandidat alternatif dalam pelaksanaan pemilu. Umumnya, kandidat alternatif akan bermunculan di luar kekuatan politik besar. Disisi lain partai kecil tidak mampu untuk menerbitkan calon yang dinilai strategis dan koalisi merupakan jalan yang harus ditempuh.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H