Mohon tunggu...
Faris Bahrul Ulum
Faris Bahrul Ulum Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

Hobi saya menonton video edukasi,kepribadian saya ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi semuanya dan saya merupakan Al-Faqir yang sedang belajar tentang karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi panggilan gus di jawa dan perannya bagi masyarakat

2 Februari 2025   12:52 Diperbarui: 2 Februari 2025   12:52 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Gus Dur  & NU Online

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), panggilan "Gus" untuk anak laki-laki berasal dari kata "Bagus," yang berarti tampan. Asal-usul panggilan ini memiliki hubungan yang erat dengan budaya Jawa, khususnya di kalangan istana dan pesantren. Di masa lalu, istilah "Gus" berakar dari kata "Gusti," yang sering digunakan untuk menyebut putra-putra raja di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pada era pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV (1788-1820 M), istilah ini menjadi identitas bagi anak-anak raja yang memiliki status tinggi. Para putra raja sering dipanggil dengan sebutan "Gusti" atau "Den Bagus," yang merupakan gelar yang melambangkan kehormatan dan kedudukan sosial yang tinggi. Gelar Gus identik dengan pria-pria yang dikenal luas sebagai tokoh terkemuka, terutama di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Salah satu sosok terkenal yang sering dipanggil Gus adalah Abdurrahman Wahid, Presiden keempat Indonesia, yang akrab disapa Gus Dur.

Di masa lalu, istilah "Gus" berasal dari kata "Gusti," yang sering digunakan untuk merujuk kepada putra-putra raja di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pada era pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV (1788-1820 M), istilah ini menjadi identitas bagi anak-anak raja yang memiliki status tinggi. Rakyat biasa sering menyapa para putra raja dengan sebutan "Gusti" atau "Den Bagus," gelar yang melambangkan kehormatan serta kedudukan sosial yang tinggi. Gelar "Gus" memang lekat dengan sosok pria yang memiliki reputasi sebagai tokoh terkenal, terutama di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Salah satu tokoh yang terkenal dengan sapaan Gus adalah Abdurrahman Wahid, Presiden keempat Indonesia yang akrab disapa Gus Dur.[1]

 

Di Madura, istilah "Gus" lebih akrab dipanggil dengan sebutan "Lora", "Nom", dan "Bindhere". Oleh karena itu, seorang putra kiai besar di Madura biasanya lebih sering dipanggil Lora daripada Gus. Meskipun demikian, baik Lora maupun Gus merujuk pada gelar yang diberikan kepada putra dari kiai, terutama yang mengelola pesantren. Tidak semua kiai memiliki pesantren, namun gelar Gus tetap digunakan untuk mereka. Selain untuk anak kandung, gelar Gus juga bisa diberikan kepada menantu kiai. Meskipun menantu tersebut tidak memiliki garis keturunan kiai, mereka tetap bisa dipanggil Gus. Ketika anak kandung kiai menjabat sebagai pengurus pesantren menggantikan ayahnya, gelar kiai akan disematkan kepada mereka, dan gelar Gus yang sebelumnya melekat akan hilang. Begitu pula, putri kiai yang awalnya dipanggil "Neng" akan beralih menjadi "Nyai". Meski demikian, sebutan Gus tidak hanya melambangkan keturunan kiai, tetapi juga menjadi simbol keilmuan dan akhlak sosial seseorang, terutama bagi santri. Dengan demikian, kita seringkali menemui gelar Gus disematkan kepada individu yang bukan dari keturunan kiai.[2]

 

Dalam konteks masyarakat Jawa, peran Gus sangatlah beragam dan multifaset. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai agen perubahan yang mampu menghubungkan tradisi dengan modernitas. Gus sering diharapkan untuk memberikan bimbingan di berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, sosial, hingga ekonomi. Dengan demikian, mereka menjadi figur sentral yang mendampingi masyarakat dalam menghadapi tantangan zaman, sambil tetap memegang teguh nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para pendahulu.

 

Tradisi Gus juga mencerminkan struktur sosial yang terdapat dalam masyarakat Jawa. Di banyak komunitas, sosok Gus dianggap sebagai simbol status dan kehormatan, yang biasanya disertai dengan tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan tradisi keagamaan. Panggilan ini membangun ikatan yang kuat antar generasi, di mana nilai-nilai dan ajaran agama diturunkan dari orang tua kepada anak-anak, serta dari Gus kepada masyarakat secara luas. Hal ini menegaskan betapa pentingnya peran Gus dalam mempertahankan kesinambungan budaya dan spiritual di tengah perubahan zaman.[3]

 

Mungkin ada kebenaran dalam pandangan ini, tetapi bisa juga sebaliknya. Istilah "Gus" merupakan singkatan dari "bagus" dalam bahasa Jawa, yang menyiratkan makna luas, baik, pintar, dan ganteng. Panggilan "Gus" biasanya ditujukan bagi anak laki-laki dan sarat dengan nuansa pujian serta doa. Istilah ini lebih akrab di telinga santri dan masyarakat tradisional Jawa. Di banyak daerah, terutama di Pulau Jawa, anak laki-laki sering dipanggil "Gus" karena maknanya yang mengandung doa. Selain itu, nama ini juga kerap disisipkan dalam nama belakang anak, seperti Agus atau Bagus. Gelar Gus mencerminkan ketokohan seseorang dalam konteks agama, di mana seseorang yang memiliki pemahaman agama yang mendalam, meskipun bukan keturunan kiai, tetap bisa mendapat panggilan ini. Oleh karena itu, dari sudut pandang sosiologis, gelar "Gus" dapat diperoleh melalui dua cara: status yang diwariskan (ascribed status) berdasarkan keturunan, dan status yang dicapai (achieved status) melalui usaha dan pengorbanan.

 

Panggilan 'Gus' bukan hanya sekadar simbol untuk putra kiai, tetapi juga mencerminkan pengakuan atas kompetensi individu dalam bidang agama. Di kalangan masyarakat Nahdlatul Ulama (NU), gelar ini sering disematkan kepada mereka yang memiliki pengetahuan mendalam dalam agama, tanpa memperhatikan latar belakang keturunan mereka. Dengan demikian, penggunaan panggilan 'Gus' menggambarkan dinamika sosial yang kompleks, di mana status sosial seseorang bisa berasal dari faktor keturunan maupun dari prestasi pribadi dalam ilmu pengetahuan dan pengabdian kepada masyarakat. Hal ini menjadikan gelar 'Gus' sebagai simbol kehormatan dan tanggung jawab untuk menjaga nama baik serta nilai-nilai luhur agama.[4]

 

Di wilayah Jawa, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, masyarakat memberikan gelar "Gus" kepada anak kiai sejak mereka lahir. Pemberian gelar ini, baik di kalangan pesantren maupun masyarakat umum, tidak bisa dilakukan sembarangan. Hanya mereka yang berhak, yaitu orang-orang yang memiliki nasab dan sanad yang jelas, yang dapat menyandang sebutan ini. Nasab merujuk pada fakta bahwa sosok yang disebut "Gus" harus memiliki garis keturunan yang tegas dari tokoh agama Islam, sesuai dengan definisi yang menyatakan bahwa gelar ini diberikan kepada anak kiai. Sementara itu, bersanad berarti bahwa orang yang menerima gelar ini harus memiliki pengetahuan dan keahlian dalam ilmu Islam yang mumpuni. Beberapa ulama juga menjelaskan bahwa sebutan "Gus" biasanya ditujukan kepada putra kiai yang belum dianggap cukup layak untuk disebut kiai, sehingga mereka dapat disebut juga kiai muda.[5]

Kesimpulan

 

Tradisi dan penggunaan panggilan "Gus" di Jawa memiliki akar yang dalam dalam budaya dan sejarah masyarakat, mencerminkan nilai-nilai kehormatan, keilmuan, dan tanggung jawab sosial. Istilah "Bagus" menjadi basis dari panggilan ini, yang tidak hanya menunjukkan status keturunan, tetapi juga pengakuan atas kompetensi individu dalam bidang keagamaan. Dalam konteks pesantren dan komunitas Nahdlatul Ulama (NU), gelar ini menjadi simbol bagi putra kiai, yang diharapkan dapat meneruskan tradisi keagamaan serta memberikan bimbingan kepada masyarakat.

 

Panggilan "Gus" mencerminkan dinamika sosial yang kompleks, di mana status seseorang dapat diperoleh melalui keturunan (ascribed status) maupun melalui pencapaian pribadi (achieved status). Ini berarti bahwa individu yang memiliki pemahaman agama yang mendalam, meskipun tidak berasal dari garis keturunan kiai, tetap dapat diakui dengan gelar tersebut. Oleh karena itu, panggilan Gus lebih dari sekadar sebuah gelar; ia mencerminkan harapan masyarakat akan keilmuan, akhlak, serta peran aktif dalam menjaga dan melestarikan tradisi.

 

Secara keseluruhan, tradisi Gus memiliki peran penting sebagai jembatan antar generasi, menjaga kesinambungan nilai-nilai luhur di tengah perubahan zaman. Sebagai pemimpin spiritual dan agen perubahan, Gus diharapkan mampu menyelaraskan tradisi dengan modernitas, memberikan bimbingan dalam berbagai aspek kehidupan, dan memperkuat identitas komunitas. Dengan demikian, panggilan Gus bukan hanya merupakan simbol kehormatan, tetapi juga sebuah tanggung jawab yang melekat pada pengabdian dan kontribusinya terhadap masyarakat.

 

Referensi

 

Faylasuf, Salman Akif. "Gelar Dan Panggilan Gus," 2022. 28 Januari 2025.

 

Maharani, Tiara Nanda. "Gus' Gelar Untuk Siapa? Simak Arti Dan Keistimewaan Sapaan Sakral Masyarakat Jawa Yang Kerap Diperdebatkan," 2024. 28 Januari 2025.

 

Nilasari, Ika. "Sejarah Panggilan Gus, Siapa Yang Berhak Menyandangnya?," 2024. 28 januari 2025.

 

Wibawana, Widhia Arum. "Apa Arti Panggilan Gus? Ini Penjelasannya Dalam Bahasa Jawa-Tradisi Pesantren," 2024. 28 januari 2025.

 

Zakiyah, Millatuz. "Makna Sapaan Di Pesantren: Kajian Linguistik-Antropologis." LEKSEMA: Jurnal Bahasa Dan Sastra 3, no. 1 (2018): 11--22.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun