"Yang berada di depan tetap di depan, sementara yang biasa berada di belakang semakin tertinggal"
Kira-kira itulah yang bisa saya gambarkan mengenai hidup dalam kondisi pandemi. Saya tidak menyangka bahwa pandemi benar-benar mengubah cara hidup orang, pola pikir orang, dan membuat kita memikirkan bagaimana caranya tetap menjalankan hidup sebagaimana mestinya. Saya juga tidak menyangka bahwa pandemi bisa mengubah kondisi mental seseorang, tak terkecuali saya.
Terbatasnya mobilisasi saya tampaknya juga mempengaruhi kehidupan sosial saya. Merasa harus selalu berada di dalam rumah dan mengurangi kegiatan di luar rumah membuat saya terkadang meras bosan. Ditambah pula oleh liburan 3 bulan kuliah yang seharusnya bisa dipakai untuk mengambil semester pendek, membuat saya bingung harus melakukan apa untuk mengisi waktu luang. Jika terdapat predikat "anak rumahan terbaik", saya mungkin akan mendapat juara 1 di antara lainnya dan mendapat bonus gelar sebagai "anak kamar tiduran". Bagaimana tidak? Ternyata lamar tidur selain bisa dipakai buat tidur, bisa juga dipakai belajar, sholat, makan, bekerja, menonton netfix, workout, rapat organisasi, menonton konser virtual, dll.
Luangnya waktu liburan yang lama membuat orang berkreasi melakukan banyak hal untuk menambah added value dalam dirinya. Sebagian dari teman saya mencoba untuk melakukan internship di organisasi maupun perusahaan, beberapa lagi sibuk dengan mengikuti berbagai lomba antar universitas. Hal ini diperparah oleh social media professional seperti linkedin yang pastinya membuat kita semua merasa insecure. Saya bisa memperhatikan bagaimana detail yang teman saya raih untuk tetap berjalan maju.
Di saat orang lain tetap berpikiran maju dan berprogress, terkadang saya merasa saya justru diam di tempat, di sebuah kasur yang nyaman dan berpikiran bahwa ini adalah rehat dari menjalani kehidupan yang ruwet. Meskipun berpikir demikian, saya tetap merasa kondisi ini justru membuat saya tertinggal di belakang, sementara orang-orang di lingkungan saya melesat jauh.
Dalam diri saya, saya merasa takut akan tertinggal jauh di belakang, takut sewaktu-waktu saya tidak bisa menyusul untuk tetap berada pada "jangkauan standar" Â yang diciptakan oleh lingkungan maupun pola pikir saya sendiri. Pikiran saya seakan-akan membuat proyeksi bagaimana urutan kesuksesan seseorang berdasarkan yang ia raih, dan saya merasa takut tertinggal walaupun sebenarnya saya belum tentu sedang berada di urutan belakang. Jika tidak pandemi, sebenarnya orang yang didepan masih bisa menjaga temannya untuk tetap berjalan maju, namun dalam kondisi pandemi seperti ini, rasanya orang-orang mulai menentukan jalan hidupnya secara lebih mandiri.
Obrolan mengenai ini sebenarnya sudah dibahas sebelum liburan di mulai, di saat saya bersama beberapa teman membicarakan rencana untuk menghabiskan waktu liburan. Dari situlah, muncul istilah FOMO (Fear of Missing Out). Istilah ini menunjukkan bagaimana rasa takut akan tertinggal menghantu pikiran kita. Rasa takut ini beragam, bisa karena takut ketinggalan berita atau tren media sosial, gaya hidup seseorang, sebuah pencapaian hidup, dll. Hal ini diperparah oleh penggunaan internet, di mana semua orang bisa saling berbagi apa yang sedang di lakukan. Hal ini juga semakin masuk akal di mana saat kondisi pandemi, orang-orang lebih intens dalam menggunakan smartphone dan device lainnya termasuk saya.
Rasa takut akan tertinggal tidak hanya melibatkan pencapaian, tetapi juga melibatkan rasa takut akan tertinggal dalam bersosial. Misalnya saja, saat kita membuka sosial media dan melihat teman-teman sedang berkumpul, timbul perasaan dalam diri saya untuk tetap bertemu dan bermain bersama teman-teman saya juga. Namun, kondisi jarak dan perizinan orang tua, membuat beberapa teman tidak bisa pergi dan berujung acara dibatalkan.Â
Hidup dalam kondisi ini memang tidak mengenakkan. Keluar hamar hanya untuk mengisi tumblr yang sudah habis untuk dibawa di kamar. Intensitas bermain handphone dan laptop semakin tinggi, seakan-akan tidak punya kehidupan lain. Perbincangan bersama teman hanya sebatas berbincang mengenai tugas, di mana obrolan tentang dunia dan akhirat semakin minim. Perjanjian bertemu teman setelah covid hilang menjadi perkataan "InsyaAllah" yang baru. Semakin ke sini, semakin takut rasanya akan kehilangan teman, atau mungkin sebenarnya saya juga yang memilih untuk menarik diri dari pergaulan.
Selain itu, tugas kuliah semakin menumpuk, di mana semuanya mengharuskan laptop kita menyala selama 24 jam ditemani mata yang minusnya saya yakin sudah naik. Tidak hanya itu, jika kita memproyeksikan diri setelah lulus pun rasanya akan susah untuk mendapatkan pekerjaan karena lowongan kerja yang sedikit akan diperebutkan oleh mahasiswa yang menganggur sejak angkatan corona. "Uncertainty" dalam kehidupan semakin terlihat nyata sehingga kita hanya bisa berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa.