Pagi ini udara masih begitu sejuk, hujan semalam membasahi kota Solo menyisakan bulir-bulir di antara rerumputan. Daun-daun melambai dan berguguran.
Suara gesekan sapu mulai terdengar saling beradu dengan suara ayam jantan. Subuh kali ini berbeda, dingin masih menusuk-nusuk, padahal semalaman menyumpahi untuk lari pagi.
Aku menyelesaikan bacaan Alquran. Lalu kembali ke atas kasur, dan sebentar melihat gawai. Tiba-tiba mata terlalu berat seolah mengajak untuk memejamkan mata.
Dalam satu kesempatan, wisuda sedang aku lampaui. Teman-teman tampak sumringah karena estafet perjuangan menempuh pendidikan berhasil ditunaikan.Â
Begitu juga dengan para keluarga yang hadir turut berbahagia. Tak terkecuali denganku yang turut merasakan rasa bahagia.Â
Setelah penyematan gelar sarjana, aku bergegas mencari anggota keluargaku. Gelar ini kupersembahkan kepada mereka, khususnya pada ibuku.
Dia sosok yang peduli pada pendidikan. Aku adalah anak laki-laki terakhir yang paling diharapkan. Prinsipnya hanya satu, selama untuk pendidikan pasti ada jalan untuk mempermudah biaya.
Berkali-kali inilah yang membuatku terharu mendengar penuturan ibu. Aku menatap ibu, begitu juga dia menatap balik. Aku memeluknya kemudian dia mencium keningku.
Peluknya hangat tapi hanya sebentar. Ibu hanya senyum dan diam melihat capaianku. Dia paham tidak mau membuatku terlarut emosi.Â
Aku tersadar perlahan air mata mulai menetes sedikit demi sedikit. Air mata tersebut membuka perlahan sayup mataku yang terpejam.