Mohon tunggu...
Farijal
Farijal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bukan siapa-siapa.

Kadang nulis

Selanjutnya

Tutup

Bola

Kejadian Eriksen Menimbulkan Trauma Bagi Saya

13 Juni 2021   12:56 Diperbarui: 13 Juni 2022   14:22 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Trauma dan mengenang

Pertandingan Euro 2020 mempertemukan antara Denmark melawan Finlandia menimbulkan trauma bagi saya. 

Ya, saya trauma atas kejadian yang menimpa Christian Eriksen. Gelandang Inter Milan ini mengalami kolaps di penghujung akhir babak pertama. 

Pertandingan ini akhirnya dihentikan, dengan gerak cepat kapten timnas Denmark Simon Kjaer melakukan tindakan pertolongan pertama, Kjaer memastikan agar Eriksen tidak menelan lidahnya sendiri supaya Eriksen tetap bisa bernapas.

Kjaer layak menyandang ban kapten timnas Denmark, dalam tangkapan layar, Kjaer berusaha menenangkan istri Eriksen, dia juga menginisiatif agar proses penanganan Erisksen tidak disorot kamera. Dalam pagar lingkaran yang dibentuk pemain Denmark. Hanya Simon Kjaer yang berani melihat penanganan Eriksen. 

Memang kejadian tongue swallowing atau populernya tertelan lidah atau menjadi momok yang menakutkan bagi para pemain. Saya melihat betapa ngilunya, bahkan melihat penanganan saja saya tidak kuat. Tetapi kita patut apresiasi langkah tim medis. 

Pada akhir pertandingan ini, Finlandia berhasil meraih 3 poin. Gol dicetak oleh Pohjanpalo tanpa melakukan selebrasi. 

Kembali lagi pada persoalan awal, mengapa kejadian semalam memantik trauma bagi saya. Saat itu pertandingan Liga 1 mempertemukan Persela melawan Semen Padang. Pada menit 44 pemain Semen Padang memberikan umpan lambung kedepan. 

Bola lambung itu menembus tepat di kotak penalti Persela dan mengenai Vendry Mofu lalu ditanduk ke arah striker Semen Padang Marcel Sacramento. Namun, bola belum mengenai Marcel, datang dari belakang, bek Persela yang bermaksud menyelamatkan bola agar peluang tersebut tidak dimanfaatkan oleh Marcel. 

Dengan sigap, kiper Persela Lamongan, Khoirul Huda menghadang bola tersebut. Namun sayang, tabrakan keras terjadi. Dua pemain Persela tersebut sama-sama terjatuh. Tapi, dalam insiden tersebut Khoirul Huda mengalami cidera serius. Pemain asli Lamongan ini mengalami tongue swallowing. 

Huda sempat memegang bagian rahangnya sebelum akhirnya pingsan. Namun, sedikit saya sayangkan dari kesadaran para pemain begitu pula dengan tenaga medis. Di Indonesia kejadian ini sangat tabu, para pemain belum menyadari sepenuhnya kejadian ini. Begitu pula, tenaga medis yang masih awam tentang hal ini. Pada insiden tersebut, tenaga medis tidak langsung melakukan penanganan pertolongan pada penderita tertelannya lidah adalah untuk membuka kembali jalur pernapasan korban, yaitu dengan memaksa mengangkat dagu dan kepala. 

Tenaga medis tidak melakukan hal demikian. Padahal setiap detik saat itu sangat berharga. Hal itu menjadi duka mendalam bagi publik Lamongan. Huda yang mengawali karir di Persela sejak muda sampai promosi ke kasta tertinggi sepakbola Indonesia. Bahkan, sempat mencicipi seragam timnas saat Alfred Riedl menjadi pelatih, ditawari klub-klub besar. 

Tapi, Huda tetap setia membela tanah kelahirannya. Dia layak mendapatkan One Man One Club. Khoirul Huda wafat di Rumah Sakit dr Soegiri Lamongan setelah beberapa jam mendapatkan pertolongan medis.

Dari insiden Huda, kita belajar semua hal. Tulisan saya bukan bermaksud mengkritik tenaga medis saat itu, bukan. Semua yang kita anggap tabu, ternyata di Eropa banyak kejadian serupa. Pun demikian, saya menganggapnya hal yang jarang ditemui insiden seperti itu. 

Pada saat itu, saya tidak menonton secara langsung di Stadion Surajaya tetapi saya menonton di layar kaca televisi bersama keluarga, termasuk ibu saya. Ibu saya beberapa kali mengucap kalimat istighfar setelah melihat insiden tersebut. 

"Astaghfirullah, Le. Lihat itu, kan ngeri jadinya kalo kamu bermain sepakbola," ucap ibu saya.

Ibu saya memang tipe orang yang sangat khawatir terhadap sesuatu, termasuk beberapa kali melarang saya bermain sepakbola. Walaupun akhirnya, ibu saya memaklumi hobi saya tersebut. 

Momen tersebut menjadi momen terakhir kebersamaan dengan ibu saya, seminggu berselang, ibu dilarikan ke rumah sakit karena penyakit jantungnya kambuh. Dalam perawatanya, rumah sakit awal merujuk ibu saya untuk dibawa ke rumah sakit dr Soetomo Surabaya. Selama perawatan disana ibu masuk ke ruang ICU selama kurang lebih 3 minggu, sebelum akhirnya wafat pada pukul 22.00 tanggal 08 November 2017.

Begitulah, terkadang ada hal yang membuat saya trauma. Tapi, sepakbola terlalu indah untuk dinikmati selain untuk bermain.

Solo, (13/05/2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun