Salam para pembaca yang budiman, semoga anda selalu diberikesehatan dan berkat yang melimpah, kali ini dalam tulisanartikel ini dimana akan membahas mengenai suku, agama, ras dan antargolongan yang dimana disini kerap disingkat menjadi SARA.
      Pada tulisan ini anda akan diajak untuk fokus terhadap SARA tersebut namun lebih mengarah kepada isu rasisme. Di dalam kasus ini terjadi sebuah hal yang paling mendasari itu semua, yakni pengelompokan ras yang cukup bermacam macam seperti yang ada di Indonesia ini dengan keberagaman suku budaya dan ras. Hal ini terjadi dan sudah dilakukan sejak dari zaman dahulu hingga sekarang. Namun yang menjadi focus dalam pengelompokan ras pada zaman sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa faktor, yakni warna kulit, warna kelopak mata, warna iris, bahasa dan bentuk tubuh. Hal tersebut menunjukan bahwa memang di masa sekarang ini cenderung lebih memperhatikan bentuk fisik, bukan dari derajat ekonomi dari orang tersebut (Ryan, 2012: h.110).
      Akibat dari pengelompokan ini, kerap terjadi sebuah tindakan yang negatif, karena pandangan masyarakat yang cenderung enggan untuk menerima perbedaan dank arena permasalahan tersebut sudah menjaditurun temurun di masyarakat. Seperti yang diambil contohnya disini adalah kedua film yang secara relatif bertemakan sama yakni sebuah perjuangan tentang para gembala umat Allah yakni Romo Van Lith dan Uskup mgr Soegijapranata. Keduanya memiliki latar film yang beada di era pra kemerdekaan Indonesia.
      Â
      Sedangkan komunikasi massa sendiri merupakan sebuah cara komunikasi yang bisa melalui media yang sering digunakan massa yang dapat berupa surat kabar, televisi, radio dan tentu juga film. Seluruh media ini mempunyai cakupan yang sangat luas dan bisa menjangkau masyarakt dalam jumlah yang banyak maka ia dinamakan komunikasi massa Effendy (1993:91). Film juga berfungsi sebagai media yang memberikan berbagai manfaat seperti hiburan. Namun tidak hanya berupa hiburan saja, masih banyak hal lain manfaat yang dapat diberikan oleh film yakni dapat digunakan sebagai sarana pendidikan dan pengajaran terhadap kaum usia dini. Hal-hal tersebut dimunculkan kedalam film agar masyarakat dapat bisa mengerti pesan apa yang disampaikan di dalam film tersebut  (Effendy 1993:209).
      Ada satu fungsi film menurut Ron Mottam yang dapat diambil untuk dipelajari disini adalah menjadi sebuah seni atau art yang juga memiliki fungsi sebagai narasi, dikarenakan film dapat menyajikan sebuah kejadian yang saling memiliki keterkaitan secara visual dalam mengkonstruksikan suatu kisah (Ibrahim, 2007:171). Hal ini tentu menjadi cocok dengan bahasan dalam artikel ini karena disini membahas kedua film yang sarat akan makna dan perjuangannya, Bethlehem Van Java dan Soegija. Kedua film tersebut menceritakan ulang bagaimana kehidupan para rohaniwan tersebut menghadapi cobaan seperti isu rasisme yang melanda mereka sehingga menghambat dan memperlambat laju perjuangan mereka.
      Kembali ke topik utama kita mengenai isu rasisme, ya rasisme sering terjadi di kalangan masyarakat, tidak menutup kemungkinan juga terjadi di masyarakat Indonesia yang memiliki banyak keberagaman suku dan budaya. Manusia diciptakan Tuhan bermacam macam mulai dari karakter hingga ciri fisik, mungkin kalian bisa mengetahui mulai dari lingkungan terdekat seperti di lingkungan sekitar masyarakat mulai dari tingkat desa mungkin tetangga pembaca sekalian ada yang memiliki rasa tau kelahiran dari bermacam-macam pulau seperti Sunda, Jawad an Tionghoa.
      Lalu hal apa yang menjadi faktor utama terjadinya rasisme di tengah masyarakat? Tentu hal ini dapat terjadi dimana suatu ras tau orang-orang yang merasa diri mereka memiliki kekuatan untuk menjadi superior di lingkungan mereka. Sehingga mereka memandang rendah atau sebelah mata dari kaum minoritas yang ada di bawah mereka. Seperti yang bisa kita lihat apabila anda sudah pernah menonton kedua film ini yakni Bethlehem Van Java dan Soegija, film ini juga diselipkan adanya isu rasisme dimana Romo Van Lith adalah missioner yang berasal dari Belanda, ia mendapatkan penolakan dari masyarakat sekitar di kota Muntilan karena menolak kedatangan warga kulit putih. Sama halnya juga yang terjadi di film Soegija dimana uskup Soegijapranata adalah uskup pribumi pertama yang ditahbiskan sebagai uskup di Keuskupan Agung Semarang, dimana saat itu ia juga mendapat cemoohan dan cibiran karena warga Belanda yang meragukan adanya Uskup pribumi yang memiliki kulit coklat dan berbahasa Jawa.
      Â