Dikutip dari sayangi.com Pemerintahan Filipina pun juga memiliki janji bahwa mereka akan menstop kejahatan tanpa hukuman yang disasarkan terhadap media atau jurnalis. Jika dihitung dari tahun 1992 terekam bahwa 73 jurnalis Filipina  harus meregang nyawa atas pekerjaan mereka sebagai jurnalis.
Kebebasan pers yan ada di Filipina ini menjadi sorotan karena presiden Filipina yakni Presiden Rodrigo Duterte pada pemilu di tahun 2018 kembali terpilih untuk menjadi pemegang kunci pemerintahan nomor satu yang ada di Filipina. Jika ditelisik sebelumnya, banyak kejadian-kejadian yang dapat membuktikan bahwa memang kebebasan pers di negara Filipina memang masih jauh dari harapan yang baik. Bahkan dikutip dari 10DaysForASEAN day 8 filipina memiliki peringkat 147 dari indikator kebebasan pers.
Banyak kejadian berdarah yang tak jarang juga melibatkan jurnalis dan wartawan sehingga mereka tidak luput menjadi sasaran atau korban. Filipina juga telah memegang predikat sebagai negara yang berbahaya untuk wartawan, maka pemerintahan Filipina berencana untuk menggaungkan kembali hak asasi manusia di negara Filipina.
Dampak dari kebijakan tersebut hubungan Presiden Duterte dengan para wartawan masih dalam proses untuk diperbaiki kemali dan diperdekatkan. Namun seakan semanya menjadi sia-sia saja, yang kemudian terdapat kasus yakni kejadian pelaku pembunuhan massal terhadap 32 wartawan dan 58 orang sipil yang akhirnya memberikan cuti hukuman untuk Zaldy Ampatuan ini untuk mendatangi pesta ulang tahun puterinya.
Hal ini tentu menjadi perdebatan dan memicu konflik yang menimbulkan sebuah pertanyaan bagaimana bisa seorang terdakwa kasus pembunuhan massal tersebut masih diberikan toleransi untuk menghadiri suatu acara dengan memberikan cuti hukuman kepadanya.
Hal in tentu menjadi sorotan di tengah apara jurnalis dikarenakan dari banyaknya korban pembunuhan pun berasal dari kalangan wartawan. Sehingga berpotensi kembali meruntuhkan kepercayaan kepada pemerintah yang selama ini mencoba pemerintah untuk kembali menegakan hak asasi manusia serta kebebasan berpendapat.
Dikutip dari bbc.com Salah satu topik yang sedang hangat dibicarakan adalah berasalh dari jurnalisme media online yang ada di Filipina yakni mengenai jurnalis dan pemimpin redaksi kantor berita media online Rappler, Maria Resa. Pemerintah memberikan vonis hukuman terhadapnya kurungan 6 bulan penjara dikarenakan sebuah artikel yang ditulis di stus Rappler mengenai dugaan adanya sebuah hubungan seorang pengusahan terdahap hakim yang berada di pengadilan tinggi yang ada di Filipina.
Sehingga pada akhirnya sang pengusaha tersebut menuntut dengan menggunakan undang-undang "cyber libel" yang sangat kontroversial dikarenakan undang-undang tersebut disahan hanya terpaut waktu 4 bulan setelah tulisan artikel yang ada di Rapller tersebut diunggah.
Para pemerhati kebebasan pers yang ada di Filipina pun juga bersuara akan hal ini. Mereka mengungkapkan bahwa kenapa Rappler menjadi target pemerintah Filipina karena memang dikarenakan pemberitaan yang berada di situs pemberitaan Rappler tersebut memang sangat kritis kepada pemerintah Filipina. Sebelumnya, Ressa juga kerap diperiksa oleh pemerintah Filipina secara berulang kali, hingga pada akhirnya menciptakan sikap protes dari pemerhati dan para junalis di Filipina mengenai isu kebebasan pers yang ada di negara tersebut.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa memang di Filipina sebuah proses kebebasan berpendapat dan kebebasan pers sangatlah belum tercapai dengan baik, terutama seperti fungsi pers untuk menjadi mata di pemerintah memanglah belum terlaksanakan dengan baik sperti contoh penangkapan Ressa sang pemimpin redaksi dari Rappler yang kerap memberiikan pemberitaan yang kritis terhadap pemerintah. Sehingga hal ini juga dapat menimbulkan kesan bahwa pemerintah yang ada di Filipina merupaka pemerintahan yang antikritik. Serta fungus pers dalam memfasiltasi warganya untuk berpendapat pun juga dibatasi yang pada akhirnya tidak menjamin warga negara untuk mendapat haknya.