Mohon tunggu...
Faridz Artha
Faridz Artha Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Psychological Analyst, State Islamic University of Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Memerdekakan Egosentrisme melalui Jalur Pendidikan, Bisakah?

31 Maret 2013   16:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:56 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

“Semakin erat keterkaitan sebuah isu dengan aset non-fisik, semakin lama waktu yang dibutuhkan pemerintah dan perusahaan untuk mengubahnya. Tantangan dalam hal pengenalan merek, kesetiaan konsumen, inovasi, atau keahlian sumber daya manusia memerlukan penanganan yang lebuh lama dibandingkan masalah biaya. Pelajaran yang bisa dipetik: perhatikan secara cermat faktor-faktor daya saing yang tidak terlalu fisik. Biasanya ketika masalahnya mulai jelas, sudah terlambat untuk memperbaikinya segera.”

Pada kesempatan kali ini, mari kita pertanyakan secara transparan, sudahkah komitmen sungguh-sungguh diperlihatkan di dunia pendidikan Indonesia untuk mengantisipasi adanya stagnasi? Seberapa besar kita mampu berbuat, pendidikan sebagai “pencetak” kualitas SDM handal yang tidak terdistorsi oleh kepentingan-kepentingan egosentris, seseorang atau kelompok, bukan serta merta pemerataan? Pendidikan sebagai miniatur para regenerasi bangsa dalam bereksplorasi, sudahkah menjadi keberpihakan menimbang dana APBN/D mencapai 20% di tata pengolaannya? Pada kenyataannya dunia pendidikan masih gigit jari ketika memperhatikan survei ketika pada ahir tahun 2006, belum beranjak dari peringkat terahir dari 11 negara Asia. Bisa dipandingkan dengan negara tetangga, Malaysia yang pernah belajar di Indonesia pada era 1970-an, secara konsisten menerapkan dana APBN 29-30 persen. Dari sini kita masih berkutat bahwa kita asih berkutat pada pendidikan yang kurang mengutamakan kemandirian, karakter, dan nilai-nilai jargon yang dimuat oleh setiap instansi pendidikan, terdapat kesenjangan yang terlampau jauh.

Disposisi semacam ini mestinya turut  menjadi renungan, jangan-jangan dunia pendidikan hanya dijadikan sebagai lahan bisnis saja. Apalagi ketika mengambil permisalan dikampus saya sendiri, saya pernah mendengar dari seorang teman bahwa seorang dosen di kelasnya pernah berkata, “kata pak … (inisial tidak disebutkan) silahkan beri banyak tugas pada mahasiswa supaya mahasiswa tidak berdemonstrasi karena yang berdemonstrasi itu kebanyakan dari jurusan psikologi”. Sungguh naïf apabila benar demikian, pasalnya potret pendidikan yang pada dasarnya sebagai ‘kawah candradimuka’ insan akademis yang kritis pembangunan menjadi terpenggal oleh mata kuliah yang sengaja dipadatkan untuk menutup mata, merabunkan wawasan seputar dunia sekitar dengan disibukkan oleh refrensi-refrensi teoritik yang mencerdaskan di domain pengetahuan (kognitif) saja, tidak diiringi dengan perilaku. Nuansa kesejajaran antara teori dan sikap patut dipertemukan secara integratif, bukan mengeruk keuntungan terutama oleh stakeholder pendidikan sebagai pengemban ibu pertiwi di masa depan. Karakteristik peserta didik yang ‘melempem’ dunia sekitar diinginkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk pemuasan fetisisme komoditas, harta dan kekuasaan. Dari sini kesadarkan akan kesejatian tentang fungsi pendidikan mesti disejatikan, dengan pembebasan tujuan-tujuan semu merugikan tanpa menanggalkan norma-norma tradisi seperti negara Jepang, Cina, Iran, dan India yang sampai saat ini disegani (semoga seterusnya) di percaturan dunia.

Lantas, bagaimana solusinya?

Apabila pemaparan diatas kita cermati secara bersama, tentu kita dapat mengambil benang merah menjadi problem solving permasalahan yang telah digambarkan. Dengan masing-masing diri mengambil pelajaran (ibrah) dari lebah, baik dari pengajar (guru) maupun yang diajar (murid) mengedepankan prinsip-prinsip pembangunan maka tak pelak terjadi turbulensi carut marut pendidikan. Prinsip yang dikedepankan ialah dialektis, persamaan untuk kebaikan bersama yang lebih tinggi, yaitu kesejatian tanpa peran label yang seolah olah, apabila diusik kita marah. Guru memerankan perannya sebagai sejatinya guru, murid juga memerankan kesejatian atas perannya sebagai murid. Peran pimpinan selayaknya bijak dalam rangkamenyingkapi perbedaan baik dari antar sesama murid hingga guru untuk mengambil ‘sari pati madu’ yang dihasilkan dari mereka guna rekontruksi besar-besaran, 10–30 tahunan mendatang (penelitian Garelli). Institusi pendidikan selayaknya menerapkan pendidikan yang berkarakter, setiap pribadi adalah pemimpin seperti yang diucapkan oleh Ki Hadjar Dewantara, seorang pemimpin harus mampu berada di depan menjadi tauladan (Ing ngarso sung tulodo), berada di tengah-tengah pengikutnya menghimpun kekuatan bersama (Ing madya mangun karsa), dan berada di belakang unuk selalu bergerak, memotivasi pengikutnya dan mengarahkan ke tujuan yang tepat (tut wuri handayani). Guru sebagai pihak yang lebih berpengalaman menjadi modeling atas perilaku siswanya. Apabila tidak, peribahasa “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” bisa berubah menjadi peribahasa anekdot “Guru kencing berlari, siswa dikencingi”. Peribahasa anekdot tersebut bisa menjadi fakta ketika siswa yang diharapkan oleh bumi pertiwi belum mampu membawa kearah keberhasilan pendidikan yang bukan hanya berprospek pada pembangunan fisik infrastruktur gedung saja melainkan pemikiran cemerlang demi peradaban gemilang di masa depan, menuju kesejatian, bersumber dari kekuatan Rabb Semesta Alam. Mari ciptakan kesejatian yang berkarakter dengan menanggalkan egosentrisme pribadi maupun kelompok!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun