Mohon tunggu...
farid wong
farid wong Mohon Tunggu... -

hanya lelaki yang kebetulan lewat, sama sekali tak hebat, tapi suka bersahabat

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Sarapan Maknyus dengan Bubur Gudeg Mak Warih

17 Oktober 2018   14:25 Diperbarui: 17 Oktober 2018   15:36 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di pinggir jalan kampung, ia berjualan hanya menggunakan sebuah meja berukuran sekitar 120 x 80 cm, dan itu sudah dijalaninya selama lebih dari 30 tahun. Begitulah Mak Warih, yang setiap pagi menjual menu sarapan bubur gudeg.

Gudeg yang ada di Yogyakarta pada umumnya didominasi rasa manis, tapi gudeg yang dijual Mak Warih ini cenderung terasa gurih. Seporsi bubur gudeg lengkap biasanya berisi bubur, gudeg, telur, tahu, suwiran ayam dan sambal goreng krecek. Jadi, selain gurih juga ada rasa pedasnya.

Bubur gudeg yang satu ini serasa pas lidah, setidaknya bagi lidah saya yang sudah merasakan beberapa masakan serupa di tempat lain. Sebagai penggemar gudeg kering, dan tak begitu tertarik dengan gudeg basah, saya merasa cocok dengan olahan gudeg basah Mak Warih. Maknyus tenan!

Lokasi jualan Mak Warih ini di tepi jalan kampung, tepatnya di sebuah ruas jalan di Dukuh Pohruboh, Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Setiap pagi ia hadir berjualan di tempat itu pada sekitar pukul 06.00, dan dalam waktu dua sampai tiga jam dagangannya sudah habis. Dan usailah sudah jualannya di hari itu.

"Sudah puluhan tahun saya berjualan seperti ini," ujarnya dalam bahasa Jawa. Para pelanggannya adalah warga sekitar pedukuhan, tapi ada juga yang dari luar pedukuhan, bahkan luar kecamatan. Seperti saya ini... hehehe.

Seorang warga yang kini berusia 36 tahun menceritakan, sejak masa kanak-kanak ia sudah terbiasa menyantap bubur gudeg tersebut untuk sarapan. Pasalnya, orangtuanya dulu adalah salah satu pelanggan Mak Warih.

Karena bukan warung, pembeli tak bisa menikmati makanan di tempat. Di sini hanya ada layanan bungkus. Dan sepertinya sang penjual tak ada niatan untuk menjadikannya warung. Kendati demikian, jualannya tetap laris sampai sekarang.

Saya sendiri bukan pelanggan tetap yang setiap pagi menyantap bubur gudeg. Namun setidaknya Mak Warih selalu menjadi opsi pertama, ketika saya ingin bersarapan bubur gudeg.

Selain bubur, sebenarnya tersedia juga nasi, plus sejumlah lauk berupa tempe dan bakwan goreng. Hanya saja, sepanjang yang saya tahu, sebagian besar pembeli memilih bubur gudeg. Pernah saya mendapat antrean keenam; lima orang di depan saya kesemuanya membeli bubur gudeg. Ada yang cuma satu bungkus, ada pula yang membeli sampai lima bungkus.

Melihat semua itu, lidah saya tidaklah terlalu salah, bahwa bubur gudegnya memang amboi. Bagi saya, ini kemewahan yang muncul dari kesahajaan, walaupun cuma untuk sebuah sarapan :).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun