Menikmati secangkir kopi di kedai kopi, kafe, restoran sampai angkringan, sepertinya trend yang berkembang belakangan ini, baik di pedesaan maupun perkotaan (baca juga "Jogja Lautan Kopi"). Saya sendiri termasuk salah satunya karena memang dari dulu penggemar kopi.
Kendati penggemar, bukan berarti saya menghabiskan bercangkir-cangkir kopi dalam sehari; satu sampai dua cangkir biasanya sudah cukup. Mungkin itu lebih pas bila dijuluki sebagai penikmat -- menikmati setiap sesapannya. Di rumah biasanya saya selalu punya persediaan biji kopi, yang tentunya sudah roasted yang saya beli dari roastery yang ada di kota tempat tinggal saya, Yogyakarta. Saya suka kopi single origin hasil dari tanah-tanah Nusantara.
Jadi, kalau saja tak ada keperluan untuk keluar rumah, saya bikin seduhan sendiri di rumah; menggiling biji kopi dengan grinder manual, kemudian menyeduhnya dengan brewing method andalan: "tubruk method." Jika sedang ngopi di kedai atau kafe, itu biasanya ada alasan tertentu, misalnya refreshing, menjajal kopi baru yang ditawarkan kedai/kafe tersebut, atau cari sambungan internet karena yang di rumah lagi lemot... hehehe.
Kedai kopi yang saya pilih tentunya punya pilihan kopi single origin, tempatnya nyaman, dan memiliki view menarik. Yang disebut terakhir ini tidak wajib, tapi kadang masuk pertimbangan. Karena di zaman kuliah dulu pernah bergabung di organisasi pencinta alam, view yang saya suka tentulah alam, pemandangan alam, entah itu sawah, sungai, hutan, laut atau gunung.
Kebetulan rumah saya relatif tak jauh dari Gunung Merapi. Dengan berkendara sekitar 30 menit, saya sudah mencapai desa terakhir di kaki gunung berapi yang masih aktif itu. Inilah yang menyebabkan saya lumayan kerap dolan ke lokasi tersebut, yang di salah satu sisinya terdapat sebuah warung kopi. Namanya "Warung Kopi Merapi."
Sumijo sendiri adalah salah satu petani kopi yang ada di lereng Merapi. Kopi yang disuguhkan di warungnya sudah pasti hasil dari kebun kopi di kawasan itu, yang kemudian terkenal dengan julukan kopi Merapi. Perkebunan kopi Merapi ini sudah lama ada, bahkan sejak zaman kolonial. Kebun-kebun kopi sering luluh oleh letusan Merapi, tapi kemudian tumbuh subur kembali setelahnya. Perlu diketahui, selain kopi Merapi, di Yogya juga ada kopi Menoreh yang tumbuh di perbukitan Menoreh di Kulonprogo.
Berlokasi di Dusun Petung, Desa Kepuhharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, warung yang didirikan kembali oleh Sumijo pada 2012 ini hanya berjarak sekitar tujuh kilometer dari puncak Merapi. Masih ingat mendiang Mbah Maridjan, juru kunci Merapi? Rumah si mbah berjarak sekitar empat kilometer dari puncak. Artinya, jika kita dari arah kota Yogya, warung pak Sumijo terletak sebelum rumah almarhum Mbah Maridjan. Lumayan dekat juga dari puncak Merapi.
Kita yang punya syahwat memotret, pastilah tidak melewatkan momen menawan ini. Begitu pula yang suka swafoto, tak bakalan menyia-nyiakan waktu untuk berfoto dengan latar Gunung Merapi nan cantik. Memang tak setiap waktu kita bisa mendapatkan pemandangan elok ini, apalagi di saat musim hujan seperti sekarang, ketika awan lebih sering menutupi kawasan puncak dan langit sekitarnya.
Jika Anda sedang berada di Yogyakarta saat ini, dan ingin ngopi sembari menikmati pemandangan alam sekitar Merapi, cobalah untuk mengamati langit di sebelah utara. Jika cerah dan Merapi terlihat, bergegaslah berangkat, siapa tahu Anda masih beruntung di tengah musim hujan ini. Kalau saja hujan, ngopi di lereng Merapi tetap menarik. Suasana berkabut tipis dan bulir-bulir hujan bisa menjadi obyek yang menawan untuk dipotret. Warung Kopi Merapi buka mulai pukul sembilan pagi sampai malam. Kita bisa memilih waktu yang pas untuk berkunjung menurut selera kita masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H