Helatan tahunan "Pasar Keroncong Kotagede 2017" yang dibuka oleh Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta KGPAA Paku Alam X telah digelar Sabtu (9/12) pekan lalu. Memasang tema "Gotong Keroncong Bebarengan," di tahun penyelenggaraan ketiga ini panitia menyuguhkan belasan penampil yang dibagi dalam tiga panggung, yang berlokasi di seputaran Pasar Kotagede, Yogyakarta.
Namun lantaran ada seorang warga yang meninggal, yang kebetulan tempat tinggalnya berdekatan dengan salah satu panggung, maka panggung tersebut batal digunakan untuk pentas. Semua penampil di panggung itu dipindahkan ke dua panggung yang tersisa.
Hal tersebut tak menyurutkan antusiasme penonton. Mereka tetap menyesaki area di kedua panggung. Bahkan ketika hujan lumayan deras mengguyur, sebagian besar penonton tak beringsut; mereka mengenakan jas hujan dan payung, dan terus menikmati penampilan para penampil, tentu saja juga menikmati alunan musik keroncong yang disuguhkan. Yang tak berpayung dan berjas-hujan hanya menyingkir ke tempat-tempat lebih teduh di sekitar panggung, agar tetap bisa menyaksikan pertunjukan.
Itu pula yang saya lakukan. Akibat tak bawa jas hujan atau payung (karena kelupaan), saya sibuk mencari tempat berteduh. Ketika mendapatkan, itu pun tak nyaman, masih terkena banyak cipratan air hujan yang menyebabkan sebagian pakaian basah. Inilah yang membuat saya tak bisa menonton keseluruhan penampil. Hanya sebagian saja. Saya memilih pulang daripada didera kedinginan akibat pakaian yang basah.
Kendati demikian, saya tetap bahagia karena telah menikmati musik keroncong yang dimainkan oleh sebagian besar orang muda, dan disaksikan pula oleh sebagian besar kaum muda. Pendapat yang menyatakan bahwa keroncong adalah musik orang tua sudah gugur dengan sendirinya. Pasar Keroncong Kotagede menjadi bukti yang tak terbantahkan.
Di antara pemain muda itu terdapat seorang perempuan muda Amerika, yang menjadi salah satu penampil. Boleh dikatakan, ia cukup luwes dalam melantunkan lagu-lagu keroncong asli Indonesia, begitu pula dalam memainkan alat musik cuk (ukulele). Dialah Hannah Standiford, yang berasal dari kota Richmond, Virginia, AS.
Saya sempat menemuinya sebelum pertunjukan. Dalam bincang singkat itu, saya ketahui bahwa Hannah pernah belajar keroncong kala menempuh studi di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Ia mengaku awal mula mengenal musik keroncong dari Youtube. "Saya sudah tiga tahun belajar musik keroncong," ujarnya sembari menegaskan bahwa dirinya belum ada apa-apanya dalam hal bermusik keroncong, dan masih terus belajar. Di tengah obrolan kita, seseorang dari grup yang mengiringinya menyela sambil berujar kepada Hannah, "Mbak Hannah, kita sound check." Dan, usailah perbincangan saya dan Hannah.
Seusai upacara pembukaan di panggung utama, Hannah dan kawan-kawan menjadi penampil pertama di panggung tersebut. Sebagai orang yang tak berlidah Indonesia, ia cukup bagus dalam mengartikulasikan lirik-lirik berbahasa Indonesia. "Saya masih bau kencur dalam musik keroncong. Saya masih belajar," katanya -- dalam bahasa Indonesia yang lumayan lancar -- di hadapan penonton yang menyaksikan penampilannya. Ia memungkasi penampilannya dengan lagu berjudul "Love" yang pada dekade 1960-an pernah dipopulerkan oleh Nat King Cole.
Dulu ada anggapan keroncong berasal dari Portugis (sekarang Portugal). Secara tak langsung Ganap membantah anggapan tersebut, dan mengemukakan bahwa di Portugal tidak ada musik keroncong seperti yang kita kenal di Nusantara. Keroncong memang asli milik kita.
Nah, jangan mau kalah dengan Hannah. Ayo berkeroncong... cruuung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H