Mohon tunggu...
farid wong
farid wong Mohon Tunggu... -

hanya lelaki yang kebetulan lewat, sama sekali tak hebat, tapi suka bersahabat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Suluk Matahari" Jepang-Jogja: Berbeda Membawa Nikmat

27 Oktober 2017   19:36 Diperbarui: 27 Oktober 2017   19:41 1491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menggelitik sekaligus amat ciamik. Begitulah impresi saya atas suguhan musik yang saya tonton di kala malam Jumat Kliwon, yang bertepatan dengan Kamis malam 26 Oktober 2017. Dengan tajuk "Suluk Matahari," pentas kolaborasi antara para musisi unik dari Jepang dan Yogyakarta itu telah memberi tontonan yang bervitamin.

Konser musik Kuricorder Quartet & Friends dari negeri sakura bersama Djaduk Ferianto & Kua Etnika itu digelar di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Bantul, Yogyakarta. Disaksikan ratusan penonton yang memadati tempat pertunjukan, mereka menyodorkan belasan repertoar yang berlangsung sekitar dua jam.

[Foto: Farid Wong]
[Foto: Farid Wong]
[Foto: Farid Wong]
[Foto: Farid Wong]
Pertunjukan dibuka dengan permainan dari Kuricorder Quartet & Friends, yang terdiri atas Masaki Kurihara, Yoshiyuki Kawaguchi dan Takero Sekijima, serta didukung Minoru Yoshizawa (maestro instrumen recorder) dan Toshiaki Chiku (penyanyi lagu folk dan pemain gitar). Mereka memainkan berbagai alat musik antara lain recorder, melodica, saksofon, ukulele, tuba, bodhran, contrabassoon dan gitar.

Dari komposisi-komposisi yang mereka persembahkan, ada yang ciptaan sendiri, tapi ada pula yang bikinan orang lain. Bagi telinga Jawa dan Indonesia seperti saya, pastilah semua repertoarnya terdengar sangat asing, tapi tetap menjadi bebunyian yang menyenangkan dan menghibur.

Bahkan, vokal Chiku yang khas, mungkin juga tergolong unik, sempat membuat audiens tergelitik dan tersenyum-senyum. Suara vokal dan genjrengan gitarnya yang ditimpali peranti musik lainnya serasa membangun kegembiraan, seolah membawa imajinasi auditoris pada masa kanak, masa yang tiada lelah untuk terus bermain dan bergembira.

Selain menunjukkan kepiawaian bermain musik dan bernyanyi, seniman-seniman dari Jepang itu juga mencoba membangun komunikasi dengan audiens. Dengan penguasaan bahasa yang sangat minim, mereka menyapa penonton dan menyampaikan judul komposisinya dengan bahasa Indonesia. Penonton pun mengapresiasi dengan tepuk tangan dan tawa riang.

Kelima pemain tersebut tak perlu lagi diragukan reputasinya, dan memang sangat dikenal di berbagai media seni musik di Jepang. Masing-masing memiliki riwayat seni yang kaya, terutama Yoshizawa dan Chiku, dan sering berkolaborasi dengan seniman-seniman lain.

[Foto: Farid Wong]
[Foto: Farid Wong]
Djaduk Ferianto dalam pernyataannya di hadapan audiens mengakui kepiawaian mereka. "Mereka baru datang pada tanggal 24 (Oktober) dan langsung latihan bersama di studio kami," tutur Djaduk, punggawa Kua Etnika. Dua grup yang berbeda latar budaya itu mengajukan komposisi masing-masing untuk digarap secara kolaboratif. Praktis, mereka hanya berlatih bersama selama dua hari sebelum pementasan.

Setelah kuartet dari Jepang itu menampilkan sejumlah repertoar mereka, Djaduk dan Kua Etnika naik ke panggung untuk bersama-sama memainkan hasil kerja sama mereka. Selain Djaduk (flute, perkusi, vokal), Kua Etnika didukung Silir Pujiwati (vokal), Purwanto (bonang), Wibowo (saron), Indra Gunawan (kibor), Benny Fuad Herawan (drums), Sukoco (kendang), Sony Suprapto (saron) dan Dhanny Eriawan Wibowo (bas elektrik).

[Foto: Farid Wong]
[Foto: Farid Wong]
[Foto: Farid Wong]
[Foto: Farid Wong]
Dapat kita bayangkan betapa beragam instrumen yang mereka gunakan dalam konser kolaborasi ini, dari instrumen musik klasik, tradisional/etnis sampai modern. Di tangan para seniman dari dua bangsa itu, keragaman peranti itu seolah membentuk riak-riak bunyi nan ritmis yang bermuara pada fusi nan harmonis.

Pada beberapa repertoar terasa sekali bumbu-bumbu musik etnis negeri kita, tapi di sejumlah repertoar lainnya langgam etnis negeri sakura menyeruak. Namun pada titik tertentu, pembeda-pembeda kultural itu menjadi sama sekali tak terasa, dan justru saya lebih merasa sebagai suguhan jazz fusion.

Beragam instrumen musik, dan perbedaan latar kultural, ternyata mampu membuahkan harmoni yang memberi kenikmatan auditoris, sekaligus visual. Kalau dalam dunia sastra ada novel klasik berjudul "Sengsara Membawa Nikmat" karya Tulis Sutan Sati, maka konser musik kolaborasi kemarin malam bolehlah kita juluki "Berbeda Membawa Nikmat."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun