Tuku jamu air mancur
Bojo lemu darakno kasur
Tawa terbahak-bahak sontak terdengar dari para penonton yang hadir malam itu, setelah Kirun melontarkan parikan (pantun) lucu yang dikidungkannya. Dalam bahasa Indonesia, parikan itu berarti: Beli jamu air mancur, istri/suami gemuk dikira kasur.
Kirun, yang dikenal luas sebagai pelawak, berpentas di pelataran Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Jumat (13/10) malam lalu, bersama rombongan ludruk yang dipimpinnya: Ludruk Tombo Kangen "Kirun Cs." Mereka hadir di Yogya atas undangan BBY, untuk memeriahkan pembukaan pameran foto dan sepeda onthel "Sarekat Onthel."
Setelah menetap di Yogya, bisa dibilang saya tak pernah menonton ludruk secara live. Berkat BBY, pertunjukan Kirun dan kawan-kawan dari Madiun, Jawa Timur, itu setidaknya mampu mengobati kangen saya pada kesenian asli Jawa Timur ini. Ludruk Kirun Cs masih mengikuti pakem yang berlaku selama ini, yakni dibuka dengan tari rema; dilanjutkan dengan bedayan yang menampilkan sejumlah pemain yang berjoget ringan sembari melantunkan kidungan jula-juli; kemudian dagelan (lawakan) oleh seorang pemain yang biasanya memulainya dengan ngidung, lalu disusul pemain lainnya; dan terakhir adalah penyajian cerita atau lakon utama.
Ludruk sudah lama mengakar di Jawa Timur. Bentuk awalnya dulu dikenal sebagai lerok, yang kemudian menjadi besutan, dan akhirnya berkembang menjadi ludruk. Kesenian tradisional ini tak bisa dilepaskan dari seorang tokoh atau pahlawannya, Cak Durasim, yang sekarang namanya diabadikan sebagai nama sebuah gedung kesenian di Surabaya.
Sebagai seniman ludruk, Cak Durasim kala itu melontarkan parikan yang sangat terkenal: pagupon omah dara, melu nipon tambah sengsara. Artinya, pagupon rumah burung dara, ikut Jepang tambah sengsara. Akibat ucapannya ini, Cak Durasim ditangkap oleh tentara Jepang. Sekitar setahun setelah dipenjara, ia meninggal dunia.
Parikan yang dilontarkan para pemain terus mengalami perkembangan, dan selalu menyesuaikan dengan isu yang berkembang dalam masyarakat. Tak ketinggalan, Kirun pun turut menyodorkan parikan-nya yang kekinian: lungguh kursi gedhak-gedhek, sing korupsi disambr beldhek (duduk di kursi geleng-geleng kepala, yang korupsi disambar petir). Lagi-lagi penonton ngakak bersama.
Ludruk pada umumnya digemari, terutama di Jawa Timur, karena menggunakan bahasa keseharian, yang kerap kali terdengar kasar, bahkan vulgar. Itulah yang menjadikannya sangat dekat dengan masyarakat kebanyakan. Cerita atau lakon yang disajikan pun diambil dari kehidupan sehari-hari, atau kisah-kisah perjuangan.
Wayah magrib nabuh bedhuk
Menyang kali nyangking timba
Mumpung sih urip nanggapa ludruk
InsyaAllah nek mati munggah swarga
(Saat magrib tabuhlah beduk
Ke sungai bawalah timba
Mumpung masih hidup menanggaplah ludruk
InsyaAllah kalau mati masuk surga)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H