Tidak perlu diragukan lagi, teknologi memberikan dampak yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Akan tetapi dampak tersebut menjadikan adanya ambivalensi terhadap diri manusia, kemunculannya disambut baik oleh umat manusia, di sisi lain juga khawatir teknologi akan merebut substansi manusia, yakni sebagai makhluk berpikir.
 Menurut Reza Fauzi Nur Taufiq; "Dalam dekade terakhir kita dihadapkan masa-masa dimana teknologi menjadi pusaran sentral kehidupan, dan menjadi satu-satunya cara untuk menembus teknologi, batas antara manusia dan mesin menjadi semakin lekat tanpa sekat melalui teknologi. Dengan itu, manusia sangat memungkinkan jatuh dalam mekanisasi dan instrumentalisasi atas kontrol penuh dari teknologi sebagai realitas lain".
  Teknologi yang memiliki pengaruh besar dalam sisi psikologis manusia kadang kala tidak menyadari akan eksistensinya. Hal ini dibuktikan banyaknya individu cenderung menaruh perhatian pada sisi akun social media, misalnya simbol 'Like', yang amat berpengaruh dalam aspek-aspek memosting, isu-isu kekinian dan viralitas. Sehingga apapun harus dilakukan demi 'Like' yang banyak.
  Pernyataan di atas senada dengan Elizabeth Kristis Poerwandri yang mengatakan; "penguna media social cenderung membandingkan diri dengan teman sebaya yang tampil lebih cantik, kaya, lebih banyak teman, lebih keren, pandai atau lebih internasional di media social. Akhirnya cara manusia mengukur nilai diri menjadi lebih superfisial, permukaan, dan dangkal. Penampilan, status sosial, dan kemakmuran menjadi lebih penting daripada spiritualitas, kedamaian diri, ataupun pengetahuan".
   Dengan ini, krisis atas kesadaran dalam diri manusia amat sangat mencolok. Adanya social media digunakan sesuai apa yang diinginkan bukan sesuai dengan kebutuhan. Tentu fakta demikian ini memberikan kekhawatiran atas peradaban manusia di masa depan.
Manusia Bagian Dari Literasi
  Sejarah peradaban manusia bisa diketahui sampai era sekarang ini berkat adanya tulisan, manuskrip, dan budaya. Ini semua merupakan produk manusia sebagai eksistensi mereka di dunia, dan juga sebagai tanda bukti peradaban di masa lalu. Zaman modern merupakan manifestasi dari cara berfikir manusia zaman dulu, modernitas bukan sekedar periodesasi, melainkan kesadaran untuk senantiasa berfikir.Â
  Istilah modern memiliki arti kesadaran terkait dengan kebaruan, yaitu suatu hal yang senantiasa diperbarui, menurut F Budi Hardiman; "kata kunci dalam istilah modern adalah pertumbuhan yang meliputi perubahan, revolusi dan kemajuan, pemahaman modernitas sebagai bentuk kesadaran lebih mendasar daripada pemahaman-pemahaman yang bersifat sosiologis ataupun ekonomis".Â
   Sebagai bentuk kesadaran modernitas dicirikan oleh tiga hal, yaitu: subyektifitas, kritik, dan kemajuan. Dengan subjektivitas dimaksudkan bahwa manusia menyadari dirinya sebagai subjectum, yakni sebagai pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Oleh sebab itu era modern yang ditandai dengan segala bentuk perbaruan, seperti hadirnya teknologi yang disebut dengan era digital, tidak hanya fokus pada kemajuan teknologi saja, tapi lebih mengarah atas kesadaran bagaimana kehadirannya bisa menjadikan arah baru bagi peradaban manusia.
  Dewasa ini; teknologi, komunikasi dan informasi dapat tersampaikan secara cepat dan mudah. Pemanfaatan teknologi yang baik nyatanya mampu membantu perkembangan bidang-bidang penting dalam masyarakat, seperti bidang pendidikan dan ekonomi. Apabila bidang-bidang tersebut dapat mengalami kemajuan, maka peradaban bangsa dapat maju pula, salah satunya lewat literasi digital.
  Literasi merupakan suatu bentuk dari kecenderungan manusia yang senantiasa selalu bertanya, walaupun secara implisit tidak mengarah pada ilmu. Memaknai literasi tidak sebatas kemampuan untuk baca-tulis, lebih luas dan dalam yakni; 'dampak dari pembacaan dan pemahaman atas suatu literatur, yang memungkinkan manusia menjadi semakin ter-arah akan kehidupan di dunia ini'.