Mohon tunggu...
Farid Wajedi
Farid Wajedi Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Konflik Rusia-Ukraina! Siapakah Pihak yang Paling Bertanggung Jawab?

15 Maret 2022   11:47 Diperbarui: 15 Maret 2022   11:52 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konstelasi geopolitik global kini sedang mengalami pergolakan menuju perang dalam sekala besar. Perang yang digadang-gadang bila semua pihak yang berkepentingan dalam konstelasi ini tidak bisa menahan diri dan ataupun dipaksa untuk melakukan strategi ofensif , maka akan tidak menutup kemungkinan akan meletusnya perang Dunia ke-lll . Ukraina yang kita ketahui merupakan negara bekas Uni Soviet ini,sejak tahun 2014 dimana ada banyak keterlibatan intelejen dan gerakan tangan-tangan tak terlihat yang di dukung oleh dana besar asing dalam proses pergantian rezim di Kiev membuat pemerintahan Kiev sepenuhnya berada pada pihak negara-negara Barat.Revolusi Maidan atau tepatnya "kudeta" Maidan pada Februari 2014 menjadi titik awal yang menjerumuskan Ukraina dalam konflik seperti sekarang, pada saat itu presiden Viktor Yanukovych melarikan diri dari Ukraina dan menyisakan masalah yang meledak dari sejak itu di Ukraina Timur.Rezim baru Kiev dalam upayanya untuk membungkam oposisi mereka di Donbas Ukraina Timur melakukan pendekatan militeristik yang tentu saja menimbulkan perlawanan dari rakyat Donbas yang di klaim oleh Kiev sebagai separatis. Pendekatan kekerasan yang diambil Kiev yang pro Barat menimbulkan bencana bagi rakyat Donbas dimana sejak 2014 setidaknya 14000 nyawa melayang. Pendekatan yang diambil Kiev memaksa pihak oposisi melakukan kedekatan dengan Rusia, dan hal ini menjadi salah satu pintu masuk Rusia untuk melibatkan diri dalam konflik dimana masyarakat yang menduduki Ukraina Timur juga merupakan etnis Rusia yang didiskriminasi oleh Rezim Kiev.
Amerika Serikat yang memiliki kepentingan besar terhadap Ukraina dan juga dicurigai terlibat dalam revolusi Maidan di tahun 2014 tentu saja tidak tinggal diam. Amerika Serikat tidak akan merelakan Ukraina yang sudah menjadi bonekanya untuk direbut kembali oleh Rusia. Langkah agresif Amerika Serikat yang dalam hal ini menunggangi NATO dan berusaha menarik negara-negara Eropa dalam konflik dengan Rusia menjadi strategi yang dipilih Amerika Serikat dalam melawan Rusia. NATO yang merupakan kepanjangan tangan dari Amerika Serikat ini berusaha mengajak Ukraina menjadi anggota NATO. Dengan bergabungnya Ukraina dengan NATO, tentu saja akan memudahkan Amerika Serikat untuk menekan Rusia dan membuat Rusia tak berkutik dan harus ikut apa kata Amerika Serikat ketika terlibat suatu permasalahan. Jika Ukraina bergabung dengan NATO, akan dipastikan Rusia akan terancam secara militer dimana di depan rumah mereka sudah ada senjata yang di arahkan kepada Moskow ketika   Moskow membuka pintu. Rusia yang notabene adalah negara dengan sejarah panjang dan merupakan salah satu kekuatan militer terkuat dunia, tidak akan menempatkan diri mereka dalam ketidak berdayaan. Ancaman keamanan yang masif bila Ukraina gabung NATO tentu saja sedini mungkin akan di cegah oleh Moskow dengan biaya apapun, termasuk melakukan strategi ofensif terlebih dahulu ke Ukraina. Ukraina sendiri memliki reaktor-reaktor nuklir besar yang bisa dimanfaatkan bilamana mereka bergabung dengan NATO. Reaktor nuklir seperti Chernobyl bahkan reaktor nuklir terbesar di Eropa yaitu Zaporizhzhia merupakan fasilitas yang bisa dimanfaatkan NATO bila Ukraina bergabung. Sehingga, Moskow merasa tidak aman dengan hal tersebut dan tentu saja terancam oleh nuklir bilamana Ukraina bergabung dengan NATO. Hal inilah yang membuat Rusia terpaksa melakukan demiliterisasi ke Ukraina dengan segala biaya yang ditanggungnya pada 22 Februari 2022 hingga sekarang.


Provokasi negara barat terutama Amerika Serikat dengan Presidennya yang kita ketahui sudah mulai pikun yaitu Biden , dengan segala janji manisnya dan retorikanya berhasil menjerumuskan Ukraina kehadapan Beruang merah yang marah. Terindikasi juga bawasannya Amerika Serikat sejak Desember 2021 sudah mengirimkan persenjataan ke Ukraina. Setidaknya hal itu terbukti dengan adanya pengakuan Anggota Layanan Ukraina yang membongkar rudal anti-tank Javelin, yang dikirim dengan pesawat sebagai bagian dari dukungan AS terhadap Ukraina. The Washington Post memberitakan , Washington sudah mengirim persenjataan untuk pertempuran di perkotaan  senilai jutaan dolar sejak dari tahun lalu. Provokasi AS ini merupakan biang kerok dari terciptanya krisis yang ada. Sehingga Amerika Serikat adalah pihak yang paling disorot dalam kasus ini yang dinilai menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi di Ukraina dan disinyalir akan memiliki efek domino keseluruh dunia. Negara-negara Barat dan tentu saja Amerika Serikat tidak berani secara head to head melakukan konfrontasi langsung dengan Rusia. Negara Barat dengan dikomandoi oleh Amerika Serikat melakukan apa yang mereka sebut sebagai sangsi ekonomi kepada Rusia. Sangsi yang mereka jatuhkan menyasar semua kegiatan ekonomi Rusia sampai pemutusan Swift di Swiss yang mengakibatkan Rusia tidak bisa melakukan  transaksi pembayaran apapun melalui platform tersebut. Tetapi, Rusia tidak tinggal diam dimana mereka sudah menyiapkan solusi dari masalah tersebut sejak jauh-jauh hari dari semenjak tahun 2014 selain melakukan pendekatan dengan Iran dan Tiongkok sebagai negara yang juga sering dijatuhi sangsi. Rusia sebenarnya sudah mengantisipasi pemutusan SWIFT sejak 2014 lalu ketika menyerang Ukraina dan mencaplok wilayah Krimea. Rusia membuat alternatif baru yaitu dengan System for Transfer of Financial Messages (SPFS).Hingga Februari 2020, tercatat ada lebih dari 400 bank Rusia yang sudah bergabung dengan platform tersebut. Jauh melebihi jumlah bank Rusia yang bergabung dengan SWIFT di angka sekitar 300 bank.China dalam hal ini menjadi mitra yang bisa diandalkan Rusia dalam mengatasi sangsi tersebut dan memberikan keuntungan bagi masing-masing negara.


Masalah krusial yang membawa dunia pada konstelasi ini adalah melonjaknya harga energi dunia. Negara-negara Eropa Barat yang 60 persen bergantung pada gas Rusia tentu saja kelimpungan dalam sangsi yang mereka buat sendiri. Sebenarnya siapa yang menyangsi dan di sangsi di sini?. Jerman menjadi negara Eropa paling keras dalam hal ini untuk tidak memberlakukan sangsi kepada RusiaRusia karena negaranya sangat bergantung pada gas Rusia. Sejak akhir 2021 (year-to-date/ytd), harga gas alam di pasar TTF (Belanda) melonjak 15,77% secara point-to-point. Dalam setahun terakhir, harga meroket 331,46%.
Sementara itu harga komoditi lainnya seperti batu bara dan minyak bumi pun terus meroket dimana diperkirakan baru bara akan mencapai harga tertingginya pada 500 USD per ton. Minyak bumi pun demikian, dimana kini harga minyak dunia telah menembus  lebih dari100 USD per barel. Harga minyak dunia diperkirakan akan menembus angka 130 USD per barel bilamana sangsi terhadap Rusia masih berlangsung. Hal ini menjadi senjata makan tuan bagi Biden dengan senjata sangsi nya sendiri yang bila terus berlangsung Amerika Serikat akan mengalami resesi ekonomi. Belum lagi pengguna mobil pribadi di Amerika Serikat mencapai angka 90 lebih, hal ini akan menyiksa masyarakat AS dengan tingginya harga bahan bakar mobil mereka. Biden yang banyak pengamat politik dan tokoh politik dunia mengatakan bahwa sekarang adalah kepemimpinan terlemah Amerika Serikat menjadi terlihat jelas. Amerika sekarang tidak lagi menguasai panggung yang dibuatnya sendiri. Hal yang akan membuat harga minyak semakin meroket dan ambruknya ekonomi AS,dimana beberapa hari lalu telefon Biden ke Saudi kepada Muhammad bin Salman untuk meminta Saudi memperbanyak produksi minyaknya tidak di angkat menjadikan sinyal bahaya bagi pemerintahan Biden. Para boneka Amerika sekarang mulai membangkang kepada Amerika setelah Rusia berani melawan hegemoni Amerika Serikat di dunia. Keperkasaan Amerika Serikat ternyata hanya terlintas di media saja dengan hanya menggunakan retorika yang membuat dirinya sendiri sebagai sosok yang tak terkalahkan. Para Boneka Amerika Serikat sekarang sedang was-was dengan akal bulus Amerika Serikat yang sering menggunakan cara kotor dalam strategi geopolitiknya. Apa yang terjadi pada Ukraina memberikan sinyal bahaya untuk segera mewaspadai hal yang sama terjadi pada negara boneka Amerika. Saudi tentu saja menjadi pihak yang paling ketakutan karena di hadapan dengan kepungan dari poros perlawanan yang di pimpin Iran di Asia Barat. Amerika sejauh ini menjadi pihak yang bertanggung jawab atas semua krisis yang terjadi di seluruh dunia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun