Mohon tunggu...
Farid Nugroho
Farid Nugroho Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

www.faridnugroho.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siapkan Telingamu Kawan untuk Siap Menjadi Sahabat

1 Agustus 2023   19:32 Diperbarui: 1 Agustus 2023   19:43 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semakin hari, kasus bunuh diri di Indonesia semakin banyak saja. Data yang ada, sebanyak 663 kasus bunuh diri terjadi di Indonesia hingga Juli 2023. Dan, tidak sedikit para pelaku bunuh diri ini adalah para lelaki yang sudah berkeluarga. Aksi bunuh diri bukan lagi milik para ABG. Kita harus menyadari bersama bahwa aksi bunuh diri berpotensi bisa terjadi pada rentang usia berapa pun. Anak-anak, remaja, hingga dewasa, baik pria maupun wanita, bisa melakukan aksi bunuh diri. Mau dengan cara gantung diri, minum obat nyamuk, potong nadi, atau cara lain, yang pasti mereka ingin mengakhiri hidup.

Mereka sebenarnya tidak menginginkan kematian itu. Hanya saja, mereka merasa tidak kuat dengan kondisi yang ada. Mereka dengan sadar tahu tentang masalahnya. Hanya saja, mereka tidak tahu bagaimana melepaskan diri dari masalah itu.

Masalah bisa dalam banyak bentuknya. Penghasilan yang tidak cukup untuk menghidupi keluarga, kehidupan di tempat kerja yang tidak kondusif, permasalahan dengan orang lain, hutang yang menggunung, dan permasalahan-permasalahan lainnya. Bisa jadi dua tiga permasalahan menumpuk jadi satu.

Untuk memecahkan masalah, sebenarnya ia bisa melakukan sendiri. Tetapi, kondisi depresi telah membunuh kekuatan tersebut. Maka yang harus dibunuh pertama adalah kondisi depresan tersebut.

Dan, sayangnya yang terjadi adalah mereka tidak tahu harus bercerita dengan siapa dan bagaimana menceritakannya.

Budaya patriarki kita terlalu kuat. Lelaki tidak boleh terlihat lemah. Lelaki dianggap tidak boleh menceritakan kalau ia memiliki masalah.

Selama ini mereka hanya bercerita dengan dirinya sendiri. Mereka berusaha menepi dari keramaian dengan berkeliling kota dengan motor tanpa tujuan, atau merokok serta mabuk, atau pelampiasan-pelampiasan lainnya. Ketika itu tidak bisa mengobati kegalauan, ketika pulang melampiaskan kepada keluarga, terjadilah KDRT.

Ia mencoba menceritakan masalahnya kepada orang lain. Tanggapan yang ia terima justru penghakiman bahwa ia kurang bersyukur, bahwa ia kurang mendekat kepada Tuhan, dan seterusnya. Sayangnya yang memberikan judgement tersebut justru adalah keluarga terdekat. Maka lelaki merasa tidak ada ruang untuk membagi cerita atas masalahnya.

Idealnya, ia harus berbagi cerita dan masalah dengan keluarga terdekat atau dengan isteri, bagi mereka yang telah berkeluarga. Sayangnya lelaki tidak cukup tega untuk bercerita karena ia tahu bahwa isteri dan keluarganya telah lelah dengan masalah di rumah. Maka ia akan bersikap sok kuat dan seolah tidak terjadi apa-apa.

Lelaki tidak pernah diajarkan untuk memiliki sahabat sebagai teman bercerita. Padahal, baik lelaki atau perempuan, sama-sama hanya membutuhkan teman yang menyediakan telinganya untuk mendengarkan segala permasalahannya. Ia kadang tidak membutuhkan solusi atau bahkan nasehat, alih-alih penghakiman.

Menemukan teman yang siap menyediakan telinga bukan hal yang mudah. Untuk dapat mempercayai orang agar ceritanya aman pun tidak mudah. Untuk menemukan teman, lelaki pun memilih teman lelakinya agar tidak menjadi masalah di kemudian hari terkait perselingkuhan. Maka menemukan sahabat adalah proses panjang sejak masalah belum hadir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun